Terminologi kebijakan Publik ( Public
Policy) ternyata banyak sekali, tergantung dari sudut mana kita mengartikannya.
Easton dalam Islamy ( 1994:19), memberikan
definisi : Kebijakan publik sebagai pengalokasian nilai-nilai secara paksa
kepada seluruh anggota masyarakat ( The authoritative allocation of values for
the whole society).
Berdasarkan definisi ini, Easton
menegaskan, bahwa hanya pemerintahlah yang secara syah dapat berbuat sesuatu
pada masyarakatnya dan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu tersebut, diwujudkan dalam pengalokasian nilai-nilai kepada
masyarakat.
Dye dalam Ramto (1997:9) menegaskan,
bahwa kebijakan publik adalah apa saja yang dipilih oleh pemerintah untuk
melakukan atau tidak melakukan sesuatu ( public policy is whatever goverments
choose to do or not to do ).
Lasswell dan Kaplan (1970:71)
memberikan definisi tentang kebijakan publik sebagai sesuatu program pencapaian
tujuan, nilai-nilai dalam praktek-praktek yang terarah.
Anderson (1979:3), mendefinisikan
kebijakan publik sebagai tindakan yang mempunyai tujuan tertentu yang diikuti
dan dilaksanakan oleh seorang pelaku atau sekelompok pelaku guna memecahkan
suatu masalah tertentu.
Lebih lanjut Anderson dalam Thoha (
1999:3) menyebutkan bahwa terdapat implikasi – implikasi dari adanya pengertian
kebijakan publik tersebut yaitu:
- Bahwa kebijakan publik itu selalu mempunyai tujuan tertentu
- Bahwa kebijakan publik itu berisi tindakan-tindakan
- Bahwa kebijakan publik itu adalah merupakan apa yang benar-benar dilakukan oleh pemerintah
- Bahwa kebijakan publik itu bersifat positif atau negatif
- Bahwa kebijakan publik itu selalu dilandaskan pada peraturan perundangan yang bersifat memaksa.
Pengertian lain bahwa kebijakan
publik dalam bentuk yang konkrit sebagai “Peraturan perundangan”, telah
dipandang sebagai suatu hal yang menyangkut kepentingan publik, walaupun dalam
banyak hal pemerintah seringkali gagal menghasilkan hasil yang diinginkan, jika
dilihat dari kacamata kepentingan publik ( Barzeley, 1992:119).
Permasalahan yang menyangkut
implementasi kebijakan publik sekalipun sering dibicarakan, tetapi amat jarang
dipelajari dan diteliti. Pembahasan terhadap implementasi kebijakan publik ( Public Policy Implementation)
sesungguhnya berusaha untuk memahami apa yang sedang terjadi, sesudah suatu
program diberlakukan atau dirumuskan yaitu peristiwa-peristiwa dan
kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan publik, maka
hal itu akan menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasikannya maupun
usaha-usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat ataupun
peristiwa-peristiwa ( Mazmanian dan Sabastier, dalam Solichin)
Untuk memperoleh pemahaman tentang
implementasi kebijakan publik, kita seharusnya tidak hanya menyoroti perilaku
dari lembaga administrasi publik atau benda-benda publik yang bertanggungjawab
atas sesuatu program berkat pelaksanaannya, akan tetapi juga perlu mencermati
berbagai jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial yang langsung atau
tidak langsung berpengaruh terhadap perilaku, yang terlibat dalam suatu program
dari keluarnya suatu kebijakan publik.
Menurut Cleaves dalam Solichin (
1980:281) Implementasi kebijakan dianggap sebagai suatu proses tindakan
administrasi dan politik.
Grindle dalam Solichin (1990:45)
menyebutkan bahwa implementasi kebijakan sesungguhnya bukanlah sekedar
bersangkutpaut dengan mekanisme penjabaran keputusan-keputusan politik kedalam
prosedur-prosedur rutin lewat saluran-saluran birokrasi, melainkan lebih dari itu,
ia menyangkut masalah konflik, keputusan dari siapa yang memperoleh apa dari
suatu kebijakan.
Lebih lanjut Mazmanian dan Sabatier
dalam Solichin ( 1990:51), menyebutkan bahwa:”Implementasi adalah pelaksanaan
keputusan kebijakan dasar, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat
pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan badan peradilan
lainnya, keputusan tersebut mengidentifikasikan masalah yang ingin diatasi,
menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dengan berbagai
cara untuk menstruktur atau mengatur proses implementasinya”.
Dalam membahas kebijakan publik, hal
penting dan esensial adalah usaha untuk melaksanakan kebijakan publik itu
sendiri ( Silalahi, 1989: 148).
Implementasi kebijakan, merupakan
rangkaian kegiatan setelah suatu kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu pelaksanaan,
maka suatu kebijakan yang telah dirumuskan itu akan sia-sia belaka. Oleh karena
itulah, pelaksanaan kebijakan mempunyai kedudukan yang penting didalam
pembahasan kebijakan publik
Menurut Jones dalam Silalahi (
1989:150), dalam membahas implementasi kebijakan terdapat 2 (dua) aktor yang
terlibat, yaitu : 1) Beberapa orang diluar birokrat-birokrat yang mungkin
terlibat dalam aktivitas-aktivitas implementasi seperti legislater, hakim, dan
lain-lain, 2) Birokrat-birokrat itu sendiri yang terlibat dalam aktivitas
fungsional, disamping implementasi.
Menurut Mazmanian dan Sabastier dalam
Solichin (1990:67), bahwa peran penting dari analisis implementasi kebijakan
publik, adalah mengidentifikasi variabel-variabel yang mempengaruhi tercapainya
tujuan-tujuan formal pada keseluruhan proses implementasi antara lain meliputi:
a, Mudah
tidaknya masalah yg akan digarap dikendalikan
b,
Kemampuan keputusan kebijakan untuk menstrukturkan secara tepat proses
implementasi
c,
Pengaruh langsung berbagai variabel politik terhadap keseimbangan dukungan bagi
tujuan yang termuat dalam keputusan kebijakan tersebut.
Secara garis besar, kita dapat
mengatakan bahwa fungsi implementasi itu adalah untuk membentuk suatu hubungan
yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik
diwujudkan, sebagai hasil akhir ( outcome) kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah ( Solichin, 1990:123).
Dengan demikian, implementasi
kebijakan merupakan terjemahan kebijakan publik yang pada umumnya masih berupa
pertanyaan-pertanyaan umum yang berisikan tujuan, sasaran kedalam
program-program yang lebih operasional (program aksi) yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mewujudkan tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran yang telah
dinyatakan dalam kebijakan tersebut.
Pandangan Islamy ( 1994:102), bahwa
sekali usulan kebijakan telah diterima dan disahkan oleh pihak yang berwenang,
maka keputusan kebijakan itu telah siap untuk di implementasikan
A. Desentralisasi Pemerintahan.
Suatu negara bagaimanapun bentuknya
dan seberapapun luas wilayahnya tidak akan mampu menyelenggarakan pemerintahan
secara sentral terus menerus ( Sarundajang, 1999:16).
Keterbatasan kemampuan pemerintah
menimbulkan konsekuensi logis bagi distribusi urusan-urusan pemerintahan negara
kepada pemerintah daerah berupa desentralisasi pemerintahan.
Desentralisasi sebagai suatu sistem
yang dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari sentralisasi,
kewenangan pemerintah berpusat pada kekuasaan pemerintah pusat, hampir semua yg
dikehendaki oleh pemerintah pusat harus dijalankan dengan “setia” oleh
pemerintah daerah, yang kerapkali hanya menjadi sekedar kepanjangan tangan
pemerintah pusat dan oleh karena itu hampir tidak mengenal masyarakat di
daerahnya ( Panjaitan, 2001:1-2).
Desentralisasi adalah penyerahan
wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi kepada pemerintahan yang
lebih rendah, baik yang menyangkut bidang lebiglatif, yudikatif, atau
administratif/eksekutif.
Ruiter dalam Sarundajang ( 1999:46)
mengemukakan bahwa:”Desentralisasi adalah sebagai pengakuan atau penyerahan
wewenang oleh badan-badan umum yang lebih tinggi kepada badan-badan umum yang
lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan
sendiri mengambil keputusan pengaturan dan pemerintahan serta struktur wewenang
yang terjadi dari hal itu.
Koswara dalam Sarundajang ( 1999:48),
mengemukakan bahwa pengertian desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna
beralihnya kewenangan dan tanggungjawab urusan-urusan pemerintahan; bahwa
melalui proses desentralisasi urusan-urusan pemerintahan yang semula termasuk
weenag dan tanggungjawab pemerintah pusat, sebagian diserahkan kepada
badan/lembaga pemerintah daerah agar menjadi urusan rumah tangga pemerintah
daerah.
Koesoemahatmadja dalam Sarundajang
(1999:46), menyatakan bahwa: Desentralisasi lazim dibagi dalam dua macam yaitu:
Pertama:
Pelimpahan kekuasaan dari alat perlengkapan negara tingkat atas kepada
bawahannya guna melancarkan pelaksanaan tugas pemerintahan yang disebut
dekonsentrasi
Kedua: Pelimpahan kekuasaan perundang-undangan dan
pemerintahan kepada daerah-daerah otonom di dalam lingkungannya, yang disebut
desentralisasi ketatanegaraan atau desentralisasi politik
Pada
desentralisasi pertama rakyat tidak diikutsertakan, sedangkan pada
desentralisasi kedua atau desentralisasi politik/ketatanegaraan rakyat dengan
menggunakan saluran-saluran tertentu ( perwakilan) ikut serta dalam
pemerintahan.
Dalam suatu pemerintahan negara,
desentralisasi pada hakekatnya merupakan sisi lain yang mengakibatkan
terjadinya otonomi daerah. Berdasarkan batasan-batasan yang telah dikemukakan,
maka desentralisasi pemerintahan mengandung makna sebagai pelimpahan kewenangan
( sebagian besar atau sebagian kecil) dari suatu pemerintahan negara kepada
pemerintahan atau instansi yang berada di bawahnya. Otonomi mengandung makna penyelenggaraan
kewenangan atau pengelolaan urusan oleh pemerintahan daerah atau instansi yang
ada di daerah sebagai implementasi dari berbagai kewenangan yang telah di
desentralisasikan.
Desentralisasi pada hakekatnya
merupakan instrumen untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu, yang biasanya
tercantum dalam kebijakan nasional atau pernyataan-pernyataan dari elit politik
nasional.
Tujuan desentralisasi: 1). merupakan
Nilai-nilai dari komunitas politik yang dapat berupa kesatuan bangsa, 2).
pemerintahan yang demokratis, 3). kemandirian sebagai penjelmaan dari otonomi,
4). efisiensi administrasi, dan 5). pembangunan sosial ekonomi.
Dengan adanya desentralisasi maka
para pelaksana di tingkat daerah akan lebih mudah mengambil keputusan, dan
secra tidak langsung telah mendidik para pengambil keputusan pada tingkat bawah
untuk bertanggungjawab atas keputusan yang diambilnya. Dengan desentralisasi
juga akan terbentuk kesadaran publik bahwa mereka memiliki pemerintahan dan
bukan pemerintahan yang memiliki masyarakat.
Menurut Sarundajang (1999:62-63)
terdapat beberapa keuntungan yang diperoleh dengan diterapkannya sistem
desentralisasi.
- Mengurangi bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan
- Dalam menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat, sehingga daerah tidak menunggu instruksi dari pemerintah pusat.
- Mengurangi birokrasi dalam arti yang buruk, karena setiap keputusan dapat segera dilaksanakan
4.Dapat
diadakan pembedaan dan pengkhususan yang berguna bagi kepentingan tertentu,
khususnya desentralisasi teritorial dapat lebih mudah menyesuaikan diri pada
kebutuhan khusus daerah.
5. Dengan
adanya desentralisasi teritorial, daerah otonom dapat merupakan semacam
laboratorium pemerintahan yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara
6.
Mengurangi kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan dari pemerintah pusat
7.
Memberikan kewenangan untuk memutuskan yang lebih besar kepada daerah
8.
Memperbaiki kualitas pelayanan, karena lebih dekat dengan masyarakat yang akan
dilayani.
Otonomi merupakan suatu spektrum yang
luas, dimana semua bangsa menghendaki adanya otonomi, yaitu untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri tanpa campur tangan dan intervensi dari pihak
lain .
Otonomi daerah sebagai salah satu
bentuk “desentralisasi” pemerintahan, pada hakekatnya ditujukan untuk memenuhi
kepentingan bangsa secara keseluruhan, yaitu upaya untuk lebih mendekati
tujuan-tujuan penyelenggaraan pemerintahan dalam mewujudkan cita-cita
masyarakat yang lebih adil dan lebih makmur.
Tujuan pemberian otonomi kepada
daerah ada empat aspek:
- Dari segi Politik : Menyalurkan aspirasi masyarakat, membangun proses demokrasi di lapisan bawah
- Dari segi manajemen pemerintahan: efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan negara, dan meningkatkan pelayanan publik
- Dari segi kemasyarakatan: meningkatkan partisipasi dan menumbuhkan kemandirian masyarakat
- Dari segi ekonomi pembangunan: untuk melancarkan pelaksanaan pembangunan guna tercapainya kesejahteraan masyarakat yg lebih meningkat
Dengan otonomi daerah, kekuasaan dan
dana negara didistribusikan secara luas keseluruh wilayah negara, dan dengan
demikian keikutsertaan rakyat dalam kehidupan kenegaraan menjadi lebih luas dan
efektif.
Otonomi daerah merupakan kehendak
rakyat dan oleh karena itu harus dijalankan di seluruh wilayah negara, termasuk
di daerah yang paling terpencil sekalipun. Rakyat dapat mengendalikan negara
hingga kehidupan kenegaraan sesuai dengan kehendak rakyat.
Sesuai dengan dinamika pemerintahan
daerah, maka sistem desentralisasi yang diterapkan dari waktu ke waktu juga
mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan untuk lebih efektif dan efisiennya
pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
Ditetapkannya Undang-Undang No 22
Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah mengubah pola penyelenggaraan
pemerintahan, dari yang serba sentralistik ( terpusat) kepada pola desentralistik,
yang dimaksudkan agar dapat lebih meningkatkan pelayanan publik dan sekaligus
pemberdayaan masyarakat.
Pemikiran
yang mendasari lahirnya Undang-Undang No 22 Th 1999
1, Dalam
rangka memberikan keleluasaan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakatnya yang dilakukan dengan prinsip-prinsip demokrasi,
peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, kemandirian, serta
memperhatikan potensi dan keanekaragaman Daerah
2, Menjaga keserasian hubungan pusat
dengan daerah, serta meningkatkan peran dan fungsi legislatif.
3, Dalam menghadapi tantangan
persaingan global, perlu disikapi dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata
dan bertanggungjawab secara proporsional kepada Daerah
Hal-hal
yang perlu mendapat perhatian dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah:
- Otonomi daerah hanya akan mencapai tujuannya secara optimal apabila dalam proses pelaksanaannya mendapatkan dukungan penuh dari seluruh masyarakatnya ( partisipasi ), mulai dari sejak identifikasi permasalahan, pengambilan keputusan, penyusunan rencana kegiatan, pelsanaan kegiatan sampai dengan pengaasan dan pertanggungjawabannya. Semakin banyak orang yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan, berarti semakin demokratis pula keputusan yang ditetapkan, sehingga pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar.
- Dalam proses perwujudan partisipasi masyarakat, maka hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah adanya kesetaraan ( menghilangkan gap), sehingga masing-masing akan dapat memberikan kontribusi pemikirannya dan mengembangkan potensi dirinya secara maksimal.
B . Implementasi
Otonomi Daerah.
Sepanjang 30 tahun di bawah kekuasaan
Orde Baru, sistem pemerintahan Indonesia bersifat sentralistik dan otokratik.
Kelahiran UU NO 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 25 Tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang
kemudian diubah dengan UU No 32 dan UU No 33 Tahun 2004, merupakan langkah baru
untuk membenahi penyelenggaraan pemerintahan.
Keduanya didasari pada 5 prinsip:
1)
Demokrasi
2)
Meningkatkan dan memperkuat peran serta masyarakat
3)
Pemerataan dan keadilan
4)
Memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah
5)
Mengembangkan peran dan fungsi DPRD.
Kelima prinsip ini merupakan tema utama gerakan reformasi
yang mendambakan penghapusan korupsi diberbagai sektor.
Salah satu dasar pertimbangan
kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah, kenyataan bahwa Indonesia
yang memiliki wilayah sangat luas, berpenduduk besar, kondisi sosio kultural
yang beraneka ragam, sangat sulit untuk dikelola secara sefektif apabila
ditumpukan secara terpusat.
Pertimbangan lain adalah, dengan
desentralisasi , pembangunan daerah akan lebih sesuai dengan kondisi ekonomi,
sosial, dan budaya setempat. Penyelenggaraan berbagai layanan publik juga dimungkinkan
menjadi lebih baik, efektif dan efisien.
Tujuan utama desentralisasi dan
otonomi daerah adalah : Mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, artinya
pelayanan pemerintahan diharapkan dapat diberikan lebih efektif dan efisien.
Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa Pemda lebih memahami kebutuhan dan
aspirasi masyarakatnya. Untuk lebih memastikan tata pemerintahan yang baik,
diperlukan partai-partai dan bermacam kelompok masyarakat yang terorganisir
secara modern.
Implementasi /Pelaksanaan desentralisasi
dan otonomi tidak dengan sendirinya mengubah sistem keuangan daerah secara
drastis, karena untuk sebagian besar dana daerah masih bergantung pada pusat.
Dengan kenyataan ini daerah cenderung beranggapan bahwa otonomi daerah yang
dimilikinya mencakup otonomi penuh dalam pengelolaan sumber penerimaan di
daerah yang terkait dengan pendapatan asli daerah ( PAD).
Kecenderungan Pemda untuk
memperbanyak Perda tentang pungutan mengakibatkan timbulnya persepsi di
kalangan masyarakat bahwa Kebijakan otonomi sengaja digunakan untuk
melegitimasi pungutan kepada masyarakat. Mengingat Pemda dinilai belum
melakukan upaya perbaikan pelayanan publik, maka tidak tertutup kemungkinan
timbulnya perlawanan masyarakat.
Regulasi daerah terutama yang
berkenaan denga perijinan usaha, dan pungutan mempunyai keterkaitan dengan
iklim usaha di daerah.
Banyak yang menilai kelemahan
pelaksanaan desentralisasi akibat pemerintah lambat menerbitkan peraturan yang
mendukungnya. Sebaliknya, dalam beberapa kasus Pemda cenderung menempatkan
otonomi sebagai tujuan bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan. Interaksi
antar dua kondisi ini menimbulkan berbagai ekses. Namun, pemerintah pusat
justru berusaha mementahkan kembali konsep OTDA yang pelaksanaan formalnya baru
setahun.
Aspek yang dijadikan alasan munculnya
UU No 32 Tahun 2004 antarlain adalah menyangkut kinerja DPRD yang dinilai
bertindak terlalu jauh melebihi kewenangannya, lebih menonjolkan fungsi
legislasi dan anggaran, menghambat ruang gerak ekonomi masyarakat, dan dalam mengalokasikan
anggaran lebih mementingkan diri sendiri daripada kepentingan masyarakat.
Beberapa kalangan menilai perubahan
tersebut didasarkan juga pada asumsi yang bersifat politis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar