JOURNAL
GERAKAN PERUBAHAN
UNTUK MENGEMBALIKAN MARTABAT BANGSA
MELALUI REVITALISASI KEBUDAYAAN DAN
REFORMASI BIROKRASI
OLEH :
Deddy Pandji Santosa
ABSTRAK
Restorasi atau Gerakan Perubahan adalah sebuah konsep
mengenai proses peningkatan suatu kondisi atau situasi yang sedang berjalan
kearah yang lebih baik sesuai yang diharapkan dalam berbagai aspek. Gerakan
Perubahan yang dicanangkan adalah Gerakan yang bersifat Menyeluruh atau
Holistik pada berbagai aspek kehidupan Berbangsa, Bernegara, dan Bermasyarakat
yaitu Aspek Ideologi, Aspek Politik, Aspek Ekonomi, Aspek Sosial, Aspek Budaya.
Sesuai dengan kesepakatan bersama,
landasan pengembangan kebudayaan nasional adalah nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang tertuang dalam Pancasila. Pancasila merupakan nilai-nilai inti
(core values) yang membentuk konfigurasi yang saling terkait dan melengkapi
sehingga menjadi etos budaya bangsa. Kalau telah dihayati oleh seluruh
masyarakat, etos kebudayaan yang berintikan kelima nilai luhur Pancasila akan
berfungsi sebagai kerangka acuan
masyarakat untuk menghadapi tantangan jaman, baik yang berasal dari dalam
masyarakat Indonesia maupun yang berasal dari luar.
Keanekaragaman faktor sosial budaya
di Indonesia harus dipahami sebagai potensi yang pemanfaatannya belum optimal
dalam proses pembangunan masyarakat. Padahal faktor sosial budaya lokal
merupakan modal sosial yang besar yang telah tumbuh berkembang secara turun
temurun yang hingga kini masih kuat berakar dimasyarakat.
Aktualisasi faktor sosial budaya
lokal menjadi masalah yang strategis untuk didiskusikan kembali. Lebih-lebih
bila dikaitkan dengan keadaan di Indonesia yang berada dalam proses demokrasi
dan reformasi disegala bidang pembangunan. Ketika Indonesia mengalami
keterpurukan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, strategi pembangunan
yang berpusat pada rakyat agaknya membutuhkan perubahan yang sangat mendasar
dari pendekatan yang caritis atau residual menjadi faktor pemberdayaan
masyarakat.
KATA KUNCI : Gerakan Perubahan, Restorasi, Koordinasi,
Revitalisasi, Reformasi Birokrasi, Budaya,
SALAM RESTORASI, SAMPURASUN
I. PENDAHULUAN
1.1
Perubahan
Perubahan
secara umum merupakan sebuah kejadian yang dialami oleh kita semua sebagai
manusia. Ada perubahan yang timbul di luar kehendak kita yang lazim dinamakan
orang perubahan yang tidak direncanakan unplanned change, tetapi ada pula
perubahan yang direkayasa oleh kita sendiri, yang dinamakan perubahan yang
direncanakan atau planned change. Perubahan dapat terjadi secara evolusioner,
tetapi ia sering pula muncul dalam wujud revolusioner. Ada pepatah kuno yang
mengatakan “Panta Rei” ( bahasa Belanda: Alles
Verandert – yang mengandung arti : segala sesuatu berubah). Maka, mengingat
bahwa perubahan merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari manusia, berarti
bahwa manusia harus senantiasa waspada, dan siap menghadapi
perubahan-perubahan.
Perubahan
dapat menimbulkan dampak negatif, tetapi ia juga dapat menimbulkan dampak
positif bagi manusia. Biasanya perubahan dikaitkan dengan perubahan
keorganisasian ( organizational change)
– dalam konteks mana agen-agen perubahan memainkan peranan penting. Dalam hal
memperbincangkan perubahan keorganisasian aneka macam faktor/variabel perlu
dipertimbangkan seperti misalnya : Tujuan-tujuan atau sasaran-sasaran – kultur
– strategi – tugas – teknologi – orang-orang (manusia) – struktur. Perubahan
biasanya disertai aneka macam konflik, dan konflik kembali lagi menuntut adanya
perubahan.
Mengingat
bahwa sebagian besar perubahan muncul dari lingkungan keorganisasian, maka akan
banyak berkaitan dengan manajemen perubahan dan manajemen konflik, dan untuk
membantu proses tersebut maka sangat bergantung kepada manajemen strategis.
Melalui manajemen strategis, pihak manajemen berupaya untuk memenuhi
tuntutan-tuntutan lingkungan terhadap organisasi mereka sesuai dengan kapasitas
dan kapabilitas yang dimiliki mereka guna mencapai suatu keserasian strategis (
strategic fit).
Perubahan
akan dapat terwujud sesuai dengan tujuan yang diharapkan apabila memenuhi
beberapa unsur yang menunjukkan sebuah siklus perubahan yang saling memperkuat
( a mutually reinforceing cycle of change)
seperti gambar dibawah ini:
|
|
1.2
Restorasi
atau Gerakan Perubahan
Gerakan
Perubahan atau sering digunakan dengan istilah lainnya yaitu Restorasi adalah
gerakan perubahan yang bersifat menyeluruh.
Kalau
kita mempelajari beberapa definisi tentang perubahan ialah : Proses di mana
kita berpindah dari kondisi yang berlaku menuju ke kondisi yang diinginkan,
yang dilakukan oleh para individu, kelompok-kelompok serta
organisasi-organisasi dalam hal bereaksi terhadap kekuatan-kekuatan dinamik
“internal maupun eksternal”, ( Cook et al., 1997:530). Definisi yang
dikemukakan menimbulkan kesan bahwa kondisi yang sedang berlaku, atau yang
sedang dihadapi, kurang memuaskan, sehingga diperlukan adanya perubahan untuk
mencapai kondisi yang lebih diinginkan. Dengan demikian terlihat adanya unsur
perekayasaan dalam hal menciptakan kondisi perubahan tersebut. Adanya kekuatan-kekuatan
dinamik internal dan eksternal yang turut menyebabkan adanya keharusan untuk
menciptakan perubahan kiranya jelas, karena setiap organisasi senantiasa
menghadapi masalah masalah internal dan eksternal.
Perubahan
di Indonesia lebih tepat apabila dimulai dengan masalah yang paling mendasar
dan esensial bagi bangsa ini yaitu melalui Revitalisasi Kebudayaan Indonesia
dan Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Pemerintah.
1.3
Sejarah Budaya Indonesia
Ada
pepatah yang mengatakan” Bangsa yang
besar adalah bangsa yang tidak pernah
melupakan sejarah”,ironis memang karena hal itu terjadi pada bangsa
Indonesia saat ini. Fenomena tersebut dengan jelas dapat kita lihat dengan
kasat mata terutama dikalangan anak anak muda yang seharusnya sebagai penerus
bangsa,mereka hampir sebagian besar sudah melupakan sejarah bangsanya sendiri.
Kalau
kita melihat kebelakang pada masa kejayaan kerajaan Majapahit,bangsa Indonesia
dengan wilayah nusantaranya itu meliputi sampai ke Madagaskar, contoh lain pada
masa kerajaan- kerajaan pada beberapa abad yang lampau, sebelum dunia luar
memiliki teknologi yang canggih, bangsa Indonesia sudah mampu membuat bangunan
yang monumental salah satunya ialah candi Borobudur, dimana teknologi
tercanggih saat inipun belum mampu mengatasi/ menditeksi dan menemukan cara
untuk merenovasi dan memperbaiki kerusakannya, ini membuktikan bahwa bangsa
Indonesia pada masa itu sudah memiliki teknologi yang canggih, yang didasari
kekuatan dan kecerdasan spiritual.
Apabila
kita membahas mengenai keterpurukan bangsa saat ini, sesungguhnya itu dimulai
sejak masuknya bangsa Belanda lebih kurang 3,5 abad yang lalu untuk menjajah
negeri ini walaupun awalnya tidak ada maksud untuk itu, secara sistematis dan
perlahan lahan terjadi proses pembodohan, penghancuran identitas diri, seperti
bahasa, budaya, adat- istiadat, dll.
Dimulai
pada tahun 1908 kesadaran bangsa Indonesia mulai terusik dengan munculnya
berbagai macam pergerakan- pergerakan dalam rangka munculnya rasa kebersamaan,
rasa sependeritaan dari situlah awal munculnya kebangkitan nasional.
Pergerakan
itu terus berlanjut, pada tahun 1928 muncul kesamaan pandangan dari para pemuda
seluruh nusantara untuk menyatukan Indonesia menjadi satu bangsa yang tidak
tercerai berai yang kemudian lebih dikenal dengan lahirnya Sumpah Pemuda.
Puncaknya
dari pergerakan bangsa yang sekian lama merasa tertindas, adalah dengan
memproklamirkan diri menjadi bangsa yang merdeka dan berdaulat dan mendapatkan
pengakuan dunia internasional, pada tanggal 17 Agustus 1945 yaitu dengan mendirikan
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan dari situlah awal dimulainya
kebangkitan bangsa dari keterpurukan sebagai bangsa yang dijajah menjadi bangsa
yang merdeka yang bisa menentukan nasibnya sendiri.
Dunia
terus berputar, masa terus berganti, bangsa Indonesia mengalami banyak
tantangan dan cobaan didalam menjalani kehidupannya, dari masa pemerintahan
Presiden Soekarno yaitu masa masa pemulihan setelah sekian lama dijajah
kemudian memasuki masa orde baru dibawah pemerintahan Presiden Soeharto, selama
32 tahun terasa perobahan didalam struktur masyarakat melalui Repelita-nya,
meningkatnya kegiatan pembangunan disegala bidang kehidupan, melalui
pembangunan politik, ekonomi, sosial, budaya, keamanan dapat dirasakan pada
saat itu. Bangsa Indonesia sudah bisa disejajarkan dengan bangsa bangsa lain di
dunia, bangsa Indonesia menjadi bangsa yang disegani di kawasan asia terutama
lagi di asia tenggara, Indonesia menjadi negara pengekspor minyak dan gas, dan
ekspor hasil kekayaan bumi lainnya, Indonesia menjadi termasuk negara yang
sedang berkembang dan memasuki masa era tinggal landas.
Dengan
adanya gerakan reformasi pada tahun 1998 dan setelah 100 tahun kebangkitan
nasional semuanya hanya tinggal kenangan, bangsa Indonesia dari bangsa/Negara
yang sedang berkembang berubah menjadi bangsa/Negara yang sedang terpuruk, dari
awalnya memasuki era tinggal landas menjadi masuk ke era tinggal di landasan,
dari Negara pengekspor menjadi Negara pengimpor dan menjadi negara yang sangat
tergantung kepada bantuan negara lain, semua bidang, sektor kehidupan semuanya
serba kesulitan, bahkan bidang olah raga saja bisa ketinggalan jauh oleh negara
yang baru merdeka seperti Vietnam, dan yang lebih menghawatirkan lagi adalah
adanya tanda tanda perpecahan sebagai bangsa sudah mulai terasa, parselisihan
dimana mana bentrokan dengan kekerasan dengan banyak memakan korban terjadi
dibanyak tempat.
Belakangan ini konflik timbul kembali kepermukaan dengan
berbagai manifestasinya seperti protes, kritik, hujat-menghujat dalam bentuk
wacana, unjuk rasa, bahkan tuntutan merdeka atau separatism. Bentuk konflik
sosial ini semakin kompleks, apalagi jika mengingat struktur Negara Indonesia
yang paradoksal dengan wilayah negaranya sangat luas dan memiliki budaya dan
identitas primordialnya yang sangat beragam.
Bainus
(2001:19) menyatakan bahkan dalam kancah internasional, kondisi Indonesia telah
mencitrakan Indonesia sebagai Negara yang cukup berpotensi untuk mengikuti
jejak keruntuhan Uni Sovyet dan Yugoslavia. Hal itu cukup terbukti dengan
lepasnya Timor-Timur, meskipun secara historis daerah tersebut bukan merupakan
bagian wilayah Negara kolonial yang sama (Hindia Belanda). Terpuruknya citra
Indonesia ini semakin mengemuka bersamaan dengan memburuknya upaya pemerintah
dalam menangani pemulihan kehidupan ekonomi, politik, sosial dan beragama di
negeri ini.
Hal
ini menggiring pertanyaan : Apakah tesis Samuel P. Huntington mengenai the clash of civilsation sudah melanda
Indonesia ? Apakah Indonesia masih
dapat bertahan hidup (survival) sebagai
suatu Negara bangsa ? Apakah Indonesia masih akan eksis dimasa mendatang ?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut muncul seiring dengan
mengemukanya beberapa realitas yang harus dihadapi bangsa Indonesia seperti
kemapanan ekonomi yang belum terlihatnya tanda-tanda tercapai, kestabilan
politik yang belum terlihatnya indikasi untuk membaik. Bahkan kini yang paling
mendapat sorotan tajam adalah kerentanan terhadap konflik suku, agama, ras, dan
antar golongan (SARA), agama merupakan faktor yang paling dominan untuk menjadi
penyebab terganggunya keutuhan bangsa. Ada pertanyaan yang belum
terjawab,bisakah bangsa yang tadinya
sebagai bangsa yang besar keluar dari keterpurukan ini dan kembali menjadi
bangsa yang diperhitungkan oleh bangsa bangsa lain di dunia?.Bagaimana jalan
keluarnya?.
II. PERMASALAHAN
2.1. Analisa tentang situasi Kebudayaan
Indonesia yang kini sedang berlangsung
·
Kontradiksi antara asumsi/konsepsi moral
budaya Pancasila dengan kenyataan
·
Kemunafikan disemua lapisan
·
Lemahnya kreativitas
·
Lemahnya etos kerja
·
Terjadinya feodalisme baru
·
Hilangnya budaya malu pada bangsa ini.
2.1.1
Nilai Sosial Budaya Indonesia
Nilai
itu adalah gabungan semua unsur kebudayaan yang dianggap baik/buruk dalam suatu
masyarakat, karena itu pula masyarakat mendorong dan mengharuskan warganya
untuk menghayati dan mengamalkan nilai yang dianggap ideal itu.
Dilihat
dari segi waktu, menurut Clyde Kluckhohn, “nilai agak abadi, yang dengan
demikian nilai merupakan suatu standar yang mengatur serta mengelola sejumlah
sistem kelakuan”.
Preferensi nilai terletak pada hal-hal yang
lebih disukai dan dianggap terbaik tentang relasi sosial yang harus dilakukan
seseorang termasuk ikhtiar untuk mencapainya (Garna, 1996: 169). Menghadapi
situasi yang tertentu, seseorang dalam kehidupan bermasyarakat sering kali
dihadapkan kepada pilihan tentang apa dan bagaimana untuk bertindak dan
berlaku, yang lebih jauh dalam dirinya ditentukan oleh kesadaran terhadap
standar atau prinsip yang tersedia dalam lingkup kebudayaannya.
Dalam
masyarakat dapat dilihat sebagai suatu organisasi sosial yang kompleks yang
terdiri atas nilai-nilai dan norma-norma, pranata-pranata dan aturan-aturan
untuk mewujudkan tindak laku, yang secara bersama-sama dimiliki oleh para warga
masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan disorganisasi
sosial adalah adanya kenyataan bahwa tidak setiap warga masyarakat mengetahui
dan menyetujui seluruh norma-norma ideal (yang dianggap baik menurut ukuran
kebudayaan yang berlaku) dalam mewujudkan tingkah laku, sehingga masyarakat
sebagai suatu organisasi sosial berada pada suatu kondisi yang memperlihatkan
adanya disorganisasi sosial.
Ketidaksetujuan
warga masyarakat atas tingkah laku yang seharusnya diwujudkan (berdasarkan norma
ideal) dalam kehidupan sosial, terutama disebabkan oleh adanya konflik dalam
nilai-nilai yang mereka punyai, yang nilai-nilai ini menyelimuti dan mewarnai
norma-norma yang ada pada mereka. Perbedaan yang ada di antara warga masyarakat
mengenai nilai-nilai yang mereka punyai, antara lain adalah karena perbedaan
dalam pengetahuan kebudayaan yang dipunyai oleh para warga masyarakat yang
disebabkan oleh perbedaan yang mereka punyai dalam pengalaman. Pengalaman
mereka dalam proses perubahan kebudayaan dan sosial yang berlaku dalam
masyarakat mereka.
Perubahan
nilai yang terjadi di dalam masyarakat tidak terlepas dari adanya kecenderungan
situasi yang dihadapi masyarakat Indonesia pada kurun waktu tertentu. Prosesnya
antara lain disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang mempengaruhi, baik
karena pengaruh yang terjadi didalam negeri (nasional) maupun regional dan
global (internasional). Perubahan nilai didalam masyarakat agraris ke
masyarakat industri masalahnya tidak bisa terlepas dari pengaruh perubahan yang
menuju pada gejala tumbuhnya masyarakat informasi.
Faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap unsur-unsur perubahan nilai dapat bersumber dari
aspek-aspek lain dibidang sosial budaya, termasuk nilai-nilai dan sistem nilai
di luar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sebagai hasil dari proses
perubahan sosial dan hasil proses pembangunan. Nilai budaya bangsa bisa
dianggap statis atau dinamis, yang tergantung pada pandangan dan sikap bangsa
itu sendiri. Beberapa nilai budaya yang cenderung mempengaruhi tingkat sosial
budaya bangsa, disebabkan hal-hal sebagai berikut:
a.
Budaya
santai sebagai akibat pengaruh alam dan lingkungan tidak mendorong terwujudnya
etos kerja yang menghargai waktu, ketelitian, ketekunan, kesabaran dalam usaha,
dan ketabahan dalam mengalami kesulitan.
b.
Daya
serap dan persepsi warga masyarakat terhadap budaya asing yang tingkat
kemajuannya menunjukkan dorongan bagi masyarakat.
c.
Kecenderungan
tetap mempertahankan nilai budaya feodal, yaitu mentalitas priyayi dan
orientasi kepada status yang mementingkan gelar daripada kualitas manusia dan
yang menghambat daya kreativitas serta kemampuan pribadi yang amat diperlukan
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
d.
Nilai
budaya yang meninggikan orang lain atas dasar senioritas belaka atau pangkat.
Sikap ini bertentangan dengan nilai keterbukaan dan kebenaran yang
objektif.
2.1.2. Terdapat permasalahan pokok yang dihadapi oleh
masyarakat/bangsa Indonesia saat ini yaitu terdiri dari banyak faktor faktor
penyebab terpuruknya bangsa ini yaitu:
Faktor
faktor etika dan moral yang secara langsung maupun tidak langsung ditunjukan
oleh para elit politik, seperti pemerintah beserta birokrasinya ( Presiden,
Mentri, Gubernur, sampai ke pemerintahan tingkat desa), para wakil rakyat
(DPR/MPR/DPRD), penjaga keamanan dan keutuhan bangsa (Militer, kepolisian)
serta terahir adalah mentalitas pengusaha Indonesia.
a.
Faktor faktor budaya korupsi, kolusi, dan
nepotisme di kalangan pejabat Negara yang semakin hari bertambah parah dari
segi kualitas maupun kuantitas sehingga perbaikan sistem masyarakat sampai
sistem kenegaraan bertambah sulit, karena tanpa disadari perilaku KKN yang
terjadi di kalangan pejabat ternyata bertransformasi pada perilaku masyarakat.
b.
Faktor faktor penegakan hukum dan peraturan
yang setengah hati ,mungkin contoh riilnya adalah tidak satupun masalah
kewibawaan hukum dan peraturan dapat menyelesaikan kasus kasus yang merugikan
bangsa yang dilakukan oleh elit politik.
c.
Faktor faktor ketimpangan ekonomi dan
rendahnya mutu sosial bagi masyarakat, hal itu terlihat dari kebijakan
pemerintah yang selalu memberi “angin segar” bagi para pengusaha multinasional
(pemilik modal besar) dan kurang memperhatikan ekonomi dan sosial masyarakat
bawah baik dari kebijakan maupun dari pelayanan.
d.
Faktor faktor pendidikan yang tidak dapat
mencerahkan kehidupan bangsa dan Negara, justru sebaliknya malah menciptakan
para koruptor yang menjual harkat dan martabat bangsa.
e.
Faktor faktor kepemimpinan dan kepengikutan
moral yang memang belum tumbuh dikalangan para elit politik sekaligus
masyarakat
2.2. Analisa
tentang situasi Birokrasi Indonesia yang kini sedang berlangsung
a. Dalam
bidang kepegawaian/ aparatur
·
Korup
·
Santai
·
Tidak inisiatif
·
Kurangnya disiplin
·
Kurang professional
b. Dalam
bidang manajemen pelayanan publik
·
Banyaknya duplikasi
·
Diskriminatif
·
Tidak independen
·
Struktur terlalu panjang
·
Jabatan fungsional tidak laku
·
Banyak lembaga ekstra yang tidak
efektif
c.Bidang manajemen kepegawaian
·
Perencanaan lemah
·
Rekrutmen lemah
·
Jabatannon kompetensi
·
Disalokasi pegawai
·
Diklat hanya formalitas
·
Sistem gaji salah
·
Tak ada reward and punishment
·
Sistem tata kelola
·
Prosedur berbelit
·
Sistem manual
·
Banyak peraturan yang sudah usang
·
Banyak peraturan tumpang tindih
·
Sistem peradilan buruk
·
Sistem kelola asset
·
Tidak transparan
·
Tidak ada standar baku
·
Sarana/prasarana tidak memadai
·
Inventarisasi/Administrasi
·
Pemanfaatan sarana tak optimal
·
Sarana/prasarana tidak terpelihara
·
Ruislag tidak transparan
2.2.1. Birokrasi Indonesia.
Perkembangan birokrasi dalam kehidupan
masyarakat Indonesia tidak terlepas dari faktor kesejarahan. Apa yang dicapai
birokrasi sekarang inimerupakan perjalanan sejarah yang panjang, walaupun
sejarah tidak pernah berulang kembali, namun dengan menggunakan secara seksama
fakta sejarah akan diperoleh perhatian yang lebih tepat mengenai fakta yang
kini ada. Sejarahpun akan membantu persepektif masa depan, apa saja yang telah
dilakukan oleh administrasi publik dapat terungkap melalui sejarah, sehingga
kita dapat melacak jejak birokrasi yang dilakukan oleh administrasi publik,
mulai zaman kerajaan yang masyarakatnya masih sangat sederhana, masa kolonial
sampai dengan setelahnya yang masyarakatnya yang lebih relatif modern. Dengan
analisis sejarah, dapat dipelajari teknik analisis atau teknik pemecahan
masalah yang akan menunjukan bagaimana proses birokrasi berlangsung
barsama-sama dengan aspek masyarakat lainnya, sehingga timbul pertanyaan adalah
apakah proses semacam itu dapat diterapkan dalam bidang yang sama dimasa kini.
2.2.2. Birokrasi setelah masa kolonial sampai dengan sekarang
Negara Indonesia tergolong Negara yang
sedang berkembang masyarakatnya sedang mengalami transisi dari masyarakat
tradisional menuju masyarakat modern (maju). Bagi Indonesia yang sudah terlalu
lama mengalami penjajahan. Kondisi tersebut sangat mempengaruhi dalam birokrasi
pemerintahan. Hal ini tercermin dalam seleksi kenaikan pangkat, penerimaan
pegawai, sampai dengan pelaksanaan tugas dimana yang di utamakan adalah
loyalitas individu kepada pimpinan dan harus sesuai dengan pimpinan, bukan
bagaimana kepentingan masyarakat diutamakan sehingga the right man on the right place tidak pernah tercapai. Demikian
pula pengaruh kerajaan yang pernah ada dimana aparatur Negara, pejabat Negara
dianggap sebagai priyayi, serta ada budaya sungkan terhadap atasan walaupun
atasan melakukan penyimpangan.
Negara berkembang, seperti Indonesia
termasuk dalam kategori masyarakat transisional. Menurut Fred W. Riggs dalam
pamudji masyarakat transisional disebut dengan model masyarakat Prismatik (Prismatic society), yaitu suatu
masyarakat yang memiliki cirri –ciri tradisional atau agrarian bersamaan dengan
cirri-ciri modern atau industri, didalam masyarakat prismatic terdapat sub
model yang disebut sala. Ciri-ciri
atau sifat-sifat masyarakat prismatic adalah adanya heterogenitas yang tinggi,
formalism yang tinggi, dan overlapping.
Ciri yang pertama adalah tingkat heteregonitas yang tinggi yaitu suatu campuran
sifat-sifat masyarakat tradisional (fused
society), dan masyarakat modern (refracted society). Fused society adalah
menunjukan suatu fungsi dan diferensiasi lembaga, berbagai macam fungsi
(politik, ekonomi, sosial dan lain-lain) menyatu dalam satu lembaga, masyarakat
ini tersusun atas dasar hubungan kekeluargaan, kekerabatan dikepalai oleh
seseorang kepala suku yang mengemban barbagai macam fungsi, sekalipun akhirnya
diserahkan juga kepada pembantunya. Refracted
society adalah kebalikan fungsi dan difirensiasi kelembagaan, setiap
lembaga mengemban fungsi khusus tertentu, jadi sekian banyak fungsi dalam
masyarakat diimbangi dengan sekian banyak lembaga. Di dalam cirri pertama ini
fungsi administrasi yang semula dilaksanakan atas dasar hubungan kekeluargaan
tetap dilanjutkan, tetapi secara semvbunyi-sembunyi, sementara itu disusun
struktur jabatan kantor yang baru guna menggantikan organisasi atas dasar
kekeluargaan, dan sepantasnya disiapkan norma-norma untuk dipatuhi. Walaupun
kenyataannya norma tersebut diabaikan, jabatan dalam administrasi Negara
dijabat oleh orang-orang atas dasar norma yang bersifat universalistic tetapi
kenyataannya diam-diam diisi oleh orang-orang yang punya hubungan keluarga, hal
ini merupakan satu ciri dalam pengadaan model sala. Ciri kedua dari masyarakat
prismatic adalah tingkat formalism yang tinggi yaitu tingkat ketidak sesuaian (discrepancy) atau tingkat kongkruensi (congruence) antara apa yang telah
dituliskan sebelumnya secara formal dengan apa yang dipraktikkan atau ditindak
secara riil, antara norma-norma dan kenyataan atau realita. Semakin besar
kongkruensi keadaan semakin realistis, sedangkan semakin besar ketidak sesuaian
semakin lebih formalistis. Ciri ketiga adalah terdapat overlapping, artinya
struktur-struktur yang telah dideferensiasikan dan dispesialisasikan secara
formal ada berdampingan dengan struktur-struktur yang belum dideferensiasikan.
Didalam cirri ketiga ini antara keluarga dan kantor terjadi dimana pengaruh
keluarga mengatasi pelaksanaan fungsi dinas atau kantor sedemikian rupa
sehingga hukum atau peraturan dilaksanakan secara seenaknya terhadap keluarga,
sebaliknya sekeras-kerasnya terhadap pihak diluar keluarganya, kepentingan
keluarga lebih tinggi daripada kepentingan jawatan, pemerintah, bahkan
kepentingan Negara. Pengelompokan atas dasar keluarga menimbulkan solidaritas
kelompok, yang didasarkan atas nama etnis, agama, ras, partai dan sebagainya.
Dampaknya dalam administarsi public adalah kantor pemerintah (administrasi
publik) pada prinsipnya menerapkan hukum dan peraturan secara objektif dan
tidak memihak terhadap semua warga masyarakat, tetapi dalam prakteknya terdapat
diskriminasi yang menguntungkan kelomponya dan merugikan pihak lain.
Diskriminasi ini kemudian menjalar kepengadaan pegawai, dimana dikaitkan dengan
nepotisme, praktik dalam sala selalu mengutamakan anggota yang dominan.
Alternatif lain dipakai sistem jatah (quota) diantara kelompok yang ada,
sehingga satu organisasi administrative dikemudikan oleh beberapa kelompok,
yang dalam keadaan yang ekstrim mungkin menyebabkan tidak adanya semangat kerja
sama diantara kelompok dengan kelompok lain yang saling bersaingan, akibatnya
administrasi publik tidak efesien.
Birokrasi
pemerintah sering kali diartikan officialdom
atau kerajaan pejabat. Suatu kerajaan yang raja-rajanya adlah para pejabat dari
suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern. Didalamnya terdapat
tanda-tanda bahwa seseorang mempunyai
yurisdiksi yang jelas dan pasti, mereka dalam area official yang yurisdisksi,
didalam yurisdiksi tersebut seseorang mempunyai tugas dan tanggung jawab resmi
(official duties) yang memperjelas
batas kewenangan pekerjaannya. Mereka bekerja dalam tatanan pola hierarki
sebagai perwujudan dari tingkatan otoritas dan kekuasaannya. Mereka memperoleh
gaji berdasarkan keahlian dan kompetensinya.
Pejabat adalah orang yang menduduki
jabatan tertentu dalam birokrasi pemerintahan, kekuasaan pejabat ini amat
menentukan, karena segala urusan yang berhubugan dengan jabatan itu ditentukan
oleh orang yang berada dalam jabatan tersebut. Jabatan itu disusun dalam
tatanan hierarki dari atas kebawah. Jabatan yang berada atas mempunyai
kekuasaan yang lebih besar dibanding
jabatan yang berada ditataran bawah, semua jabatan itu lengkap dengan
fasilitas yang mencerminkan kekuasaan tersebut. Diluar hierarki kerajaan
pejabat dan jabatanitu terhampar rakyat yang powerless dihadapkan pejabat
birokrasi tersebut, itulah sebabnya birokrasi pemerintah sering kali disebut
kerajaan pejabat yang jauh dari rakyatnya.
III.
PEMBAHASAN
“Budaya adalah ciri khas bangsa,
apabila budayanya HILANG maka bangsa itu juga
AKAN HILANG”
3.1. Masalah keterpurukan bangsa
Didalam pembahasan,
Masalah keterpurukan bangsa maka jalan keluar untuk mengatasinya diantaranya
melalui revitalisasi kebudayaan dan reformasi birokrasi.
3.1.1. Revitalisasi kebudayaan Indonesia
Kata
“Kebudayaan” berasal dari (bahasa sansakerta) buddayah, yang merupakan bentuk jamak kata buddhi, yang berarti budi atau akal. Kebudayaan diartikan sebagai
hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal. Seorang antropolog, yaitu E.
B. Tylor (1924: 1) memberkan definisi mengenai kebudayaan sebagai berikut:
“Kebudayaan
adalah hal kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
hukum, adat-istiadat, dan lain kemampuan-kemampuan serta kebiasaan-kebiasaan
yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Dengtan lain perkataan,
kebudayaan mencakup kesemuanya yang didapat atau dipelajari oleh manusia
sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan terdiri atas segala sesuatu yang
dipelajari oleh pola-pola perilaku yang normative, artinya mencakup segala
cara-cara atau pola-pola berpikir merasakan dan bertindak”
Revitalisasi
kebudayaan menurut Turmudzi (materi kuliah) adalah : “Kesadaran penuh untuk
membangun peradaban menyeluruh atas kehidupan yang berorientasi pada
prisip-prinsip keadilan dan kesejahteraan umat manusia”.
Manusia melengkapi dirinya dengan
kebudayaan, yaitu perangkat pengendali berupa perencana, aturan, resep, dan
intruksi yang digunakannya untuk mengatur terwujudnya tingkah laku dan tindakan
tertentu (Greetz, 1973). Dalam pengertian ini, kebudayaan befungsi sebagi
“alat” yang paling efektif dan efesien dalam menghadapi lingkungan.
Kebudayaan bukanlah sesuatu yang
dibawa bersama kelahiran, melainkan diperoleh melalui proses belajar dari
lingkungan, baik lingkugan alam maupun lingkungan sosial. Dengan kata lain,
hubungan antara manusia dengan lingkungannya dijmbatani oleh kebudayaan yang
dimilikinya. Dilihat dari segi ini kebudayaan dapat dikatakan bersifat
adaptif karena melengkapi manusia dengan
cara-cara menyesuaikan diri pada kebutuhan fisiologis dari mereka sendiri,
penyesuaian pada lingkungan yang bersifat fisik geografis maupun lingkungan
sosialnya. Kenyataan bahwa banyak kebudayaan bertahan malah berkembang
menunjukan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan oleh suatu masyarakat,
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan tertentu dari lingkungannya. Ini tidak
mengherankan, karena kalau sifat-ifat budaya tidak disesuaikan kepada beberapa
keadaan tertentu, kemungkinkan masyarakat untuk bertahan akan bekurang.
Sebagaimana kebudayaan itu
menyesuaikan diri dengan lingkungan fisik dan kebutuhan-kebutuhan biologis,
kebudayaan juga merupakan hasil dan sarana untuk menyesuaikan diri pada
lingkungan sosial. Perubahan-perubahan ekonomi dan kesempatan dalam bidang
sosial merangsang munculnya bentuk-bentuk kelakuan baru yang memecahkan
masalah-masalah baru, kemudian bias menjadi pola-pola yang secara berulang
terwujud dan pada akhirnya menjadi milik bersama. Pola-pola kelakuan,
norma-norma, dan aspirasi-aspirasi terwujud dalam melakukan adaptasi. Dengan
demikin dapat dikatakan bahwa adanya kebudayaan bermula pada adanya
respon-respon terhadap situasi, seperti kondisi ekonomi, sosial, dan kondisi
lainnya.
Kebiasaan atau kelakuan yang
terpolakan yang ada dalam masyarakat tertentu merupakan penyesuaian masyarakat
itu terhadap lingkungannya, tetapi cara penyesuaian itu bukan bnerarti mewakili
cara penyesuaian yang mungkin diadakan oleh masyarakat lain dalam kondisi yang
sama. Dengan kata lain, masyarakat manusia yang berlainan mungkin akan memilih
cara-cara penyesuaian yang berbeda terhadap keadaan yang sama. Kondisi seperti
itulah yang menyebabkan timbulnya keanekaragaman budaya.
Salah satu upaya untuk mengurangi
atau mengatasi dampak negative dari perubahan sosial budaya adalah dengan cara
menggali, mengkaji serta membina dan mengembangkan kembali nilai-nilai luhur
dalam kebudayaan Indonesia, mengingat arus pengaruh, baik berupa unsur-unsur
kebudayaan dari luar maupun pengaruh pembangunan sudah semakin besar dan
semakin intensif.
Konsep budaya yang paling awal
berasal dari E.B. Tylor (J.Murry, 1871) yang mengemukakan sebagai berikut :
“Kebudayaan ialah suatu keseluruhan kompleks yang mengandung ilmu pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, kesusilaan, hukum adat istiadat dan kemampuan lainnya,
serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat”.
“Kebudayaan
atau budaya ialah (1) cara menyeluruh dari kehidupan suatu masyarakat,(2)
legalitas sosial yang diperlukan individu dari kelompoknya, (3) suatu cara
berpikir merasakan dan mempercayai sesuatu, (4) abstraksi dari tingkah laku,
(5) suatu teori tentang cara bagaimana suatu kelompok manusia dalam
kenyataannya bertingkah laku, (6) suatu simpanan dari tingkah laku yang
dipelajarinya, (7) suatu perangkat orientasi yang distandardisasi guna
pengulangan masalah, (8) tingkah laku yang dipelajari, (9) suatu mekanisme bagi
pengaturan normative dari tingkah laku, (10) sejumlah satuan atau perangkat
teknis untuk menyesuaikan dengan lingkungan luar dan orang lain, (11) serta
suatu percepatan sejarah atau pengulangan sebagai suatu matriks, peta, menepis
atau membandingkan”. (kluckhuhn, 1950).
Kroeber
dalam Anthropology (1948) “menganggap kebudayaan itu memiliki sifat-sifat yang
“superorganik” yang bentuknya lebih dari individu atau “organik”. Artinya,
kebudayaan dijalankan oleh seseorang , tetapi bentuknya tak ditentukan oleh
individu tertentu, misalnya bahasa akan mati apabila semua bangsa memakai
bahasa itu semuanya musnah karena bahasa itu akan diturunkan dari satu generasi
ke generasi lainnya sebagai “superorganik”.
“Pendirian
dan dalam melihat falsafah Negara tampaknya pertentangan yang timbul hal ini
tak perlu terjadi. Apabila dalam mengacu pada konsep budaya, maka dasar
falsafah Negara ialah suatu konsensus nasional yang seharusnya menjadi landasan
bagi seluruh tingkah laku dan pergaulan di antara sesama warga Negara Indonesia
di dalam hubungan mereka satu sama lainnya”
(Nasikun, 1984).
“Kebudayaan,
menurut Koentjaraningrat , mencakup konsep yang luas sehingga untuk kepentingan
analisis, konsep kebudayaan ini perlu dipecah lagi kedalam unsur-unsurnya.
Unsur-unsur yang terbesar terjadi karena pecahan tahapan pertama disebut
unsur-unsur kebudayaan yang universal dan merupakan unsur-unsur yang pasti bias
didapatkan disemua kebudayaan didunia, baik yang hidup dalam masyarakat
pedesaan yang kecil dan terpencil maupun dalam masyarakat kota yang besar dan
kompleks. Unsur-unsur universal itu merupakan isi dari semua kebudayaan yang
ada didunia, yaitu (1) sistem religi dan upacara keagamaan, (2) sistem dan
organisasi kemasyarakatan, (3) sistem pengetahuan, (4) bahasa, (5) kesenian,
(6) sistem mata pencaharian hidup, serta (7) sistem teknologi dan peralatan.”
Ketujuh
unsur universal tersebut masing-masing dapat dipecah lagi kedalam sub-sub
unsur. Demikian, ketujuh unsur kebudayaan universal tadi memang mencakup
seluruh kebudayaan mahluk manusia dimanapun juga didunia dan menunjukkan ruang
lingkup dari kebudayaan serta isi dari konsepnya.
Mengenai
wujud kebudayaan Koentjaraningrat
berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud.
a. Wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma,
peraturan, dan sebagainya.
b. Wujud kebudayaan
sebagai suatu kompleks aktifitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan
sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Apabila
konsep dari Selo Soemardjan sebagaimana dikemukakan terdahulu dan pendapat
Koentjaraningrat dijadikan pedoman, maka :
Dapat
dinyatakan bahwa tiap suku bangsa akan menghasilkan kebudayaan dan oleh karena
suku bangsa di Indonesia beragam, maka akan ditemui keragaman kebudayaan
Indonesia. Keragaman yang ditemukan itu bukan terletak pada unsur kebudayaan,
tetapi pada raga kebudayaan itu. Misalkan saja unsur-unsur kebudayaan, seperti kesenian,
bahasa, sistem pengetahuan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem mata
pencaharian hidup, serta sistem teknologi dan peralatan akan dijumpai pada
setiap suku bangsa.
Dalam
hal bahasa misalnya, ditemukan keragaman bahasa dan secara umum hanya dapat
dimengerti oleh suku bangsa itu. Ada bahasa Sunda, Madura, Bali, Sangir,
Minahasa, Batak, Jawa, Minangkabau (Padang), Makassar, Bugis, dan seterusnya.
Dalam perjalannan kehidupan
masyarakat Indonesia maka juga harus diterima dalam masyarakat Indonesia yang
bersifat majemuk ini akan adanya tiga golongan kebudayaan yang masing-masing
mempunyai coraknya sendiri. Ketiga golongan tersebut adalah sebagaiu berikut.
a. Kebudayaan
suku bangsa (yang lebih dikenal secara umum di Indonesia dengan nama kebudayaan
daerah).
b. Kebudayaan
umum lokal.
c. Kebudayaan
Nasional.
Setiap
kebudayaan tersebut bukan hanya menjadi corak dari berbagai situasi yang secara
keseluruhan merupakan suasana kehidupan sosial masyarakat Indonesia yang dapat
digolongkan sebagai suasana suku bangsa, suasana umum lokal dan suasana
nasional, kebudayaan itu digunakan oleh orang Indonesia dengan penggolongan dan
pola interaksi yang dihadapi dan untuk kerangka acuan (referensi) bagi
identitas sesuai dengan pola interaksi yang terlibat didalamnya.
Suasana umum lokal merupakan
perwujudan dari kegiatan kehidupan dari para warga sesuatu bagian masyarakat,
yang masyarakatnya terdiri atas lebih dari satu suku bangsa sehingga
kegiatan-kegiatan tersebut berlandaskan atas pranata-pranata sosial yang berdasarkan
atas kebudayaan suku-suku bangsa yang berlaku setempat serta dalam beberapa hal
juga dipengaruhi oleh kebudayaan nasional.
3.2. Pembangunan
dan Kebudayaan
Untuk memacu upaya peningkatan
kesejahteraan penduduk dalam waktu relative singkat, tidak ada pilihan lain
bagi masyarakat Indonesia untuk mengambil alih dan menerapkan teknologi canggih
yang berhasil mengubah sistem produksi utama. Karena itu, industrialisasi
menjadi kenyataan yang tidak dihindari dalam upaya penyediaan barang-barang dan
jasa kebutuhan hidup secara massal.
Namun, penerapan teknologi canggih
dalam industrialisasi menuntut pengembangan kebudayaan disamping kebutuhan akan
modal yang besar, organisasi yang intensif serta tenaga kerja yang terampil dan
ahli. Oleh karena itu, tanpa disadari, masyarakat Indonesia dewasa ini sedang
mengalami pergeseran faktor nilai budaya dan perkembangan pranata sosial dari
masyarakat industry yang berkeseimbangan (Equilibrious
society) menuju kesenjangan (disequilibrious
society). Perkembangan industri itu perlu dicermati agar tidak menyimpang
dari kesepakatan nasional yang menuju pancasila sebagai satu-satunya azas
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Sebagaimana diketahui dunia
industri, menuntut pengusaha mengejar keuntungan materi seketika dan sebesar-besarnya,
hal itu pada gilirannya merangsang perkembangan nilai-nilai yang sangat
menghargai efesiensi dan produktifitas kerja. Karena itu perangkat nilai budaya
yang terkait dengan efesiensi dan produktifitas terus berkembang seperti
mengejar keberhasilan seseorang , penuh perhitungan, dan melihat jauh kedepan.
Disamping nilai-nilai budaya yang
memang diperlukan sebagai rujukan untuk menghadapai era globalisasi yang penuh
dengan persaingan hidup, ada sejumlah budaya yang dapat menimbulkan dampak negative
bagi keseimbangan lingkungan dan masyrakat Indonesia. Nilai-nilai yang sangat
menghargai efisiensi dan produktifitas dalam usaha sering kali mengarah pada
penerapan teknologi canggih secara eksploitatif dan ekspansif tanpa
memperhatikan keseimbangan lingkungan hidup. Hal ini disebabkan karena ada
sementara anggota masyarakat yang mengabaikan kearifan lingkungan dan daya
dukung lingkungan dalam mengolah sumber daya dan memasarkan hasil industry
mereka untuk mendapatkan keuntungan materi sebesar mungkin.
Kecenderungan industri seperti itu
mempengaruhi sosial budaya masyarakat agraris yang biasanya terikat kuat oleh
tradisi yang sangat menghargai pola-pola hubungan yang selaras, serasi, dan seimbang denga
lingkungannya. Tradisi itu biasanya dikukuhkan dengan seperangkat nilai-nilai
budaya dan faktor daya alam dan lingkungan. Mereka tidak mudah bersaing
memperebutkan sumber daya alam dan lingkungan. Akibatnya dapat dirasakan betapa
kesenjangan sosial, ekonomi, dan bahkan politik dalam masyarakat terasa semakin
dalam dan tajam.
Kesenjangan perkembangan sosial
budaya dalam masyarakat Indonesia yang majemuk tersebut perlu ditanggulangi
sedini mungkin dan berkelanjutan demi keutuhan bangsa dan Negara, disamping
meningkatkan daya saing mereka dalam menghadapi era globalisasi yang penuh
tantangan.
3.2.1. Pancasila sebagai etos budaya bangsa.
Pengembangan budaya nasional, baik
sebagai lambing integrative, kesetaraan, maupun modernisasi, sesungguhnya harus
mencerminkan kepribadian yang dapat memberikan kebanggaan dan membedakannya
dengan kebudayaan-kebudayaan bangsa-bangsa lain di dunia. Pengembangan
kebudayaan nasional juga harus dapat berfungsi sebagai acuan bagi upaya
pengembangan kelembagaan yang memiliki kekuatan penggerak (Inperative power) serta penciptaan aturan-aturan sosial yang
medukung pengembangan kreatifitas pembaruan dan daya saing bagi masyarakat
pendukungnya. Dengan demikian kebudayaan nasional dapat memenuhi fungsinya
sebagai kerangka acuan bagi segenap penduduk Indonesia untuk menyelenggarakan kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, daan bernegara secara tertib, leluasa dan efisien
disamping menjadi landasan pendidikan dasar dalam membentuk kepribadian bangsa.
Diluar lingkungan masyarakat Indonesia, kebudayaan nasional juga harus dapat
menjadi ciri pengenal yang membedakannya dengan bangsa-bangsa lain. Bahkan ia
dapat dapat berfungsi sebagai tolak ukur atau pembanding kesetaraan dalam
pegaulan antar bangsa.
Sesuai dengan kesepakatan bersama,
landasan pengembangan kebudayaan nasional adalah nilai-nilai luhur budaya
bangsa yang tertuang dalam Pancasila. Pancasila merupakan nilai-nilai inti (core values) yang membentuk konfigurasi
yang saling terkait dan melengkapi sehingga menjadi etos budaya bangsa. Kalau
telah dihayati oleh seluruh masyarakat, etos kebudayaan yang berintikan kelima
nilai luhur Pancasila akan berfungsi
sebagai kerangka acuan masyarakat untuk menghadapi tantangan jaman, baik
yang berasal dari dalam masyarakat Indonesia maupun yang berasal dari luar.
Adapun tantangan dari dalam masyarakat
yang majemuk terutama disebabkan oleh
faktor dinamika perkembangan sosial yang bergerak dari masyarakat agraris yang
berkesinambungan kearah masyarakat industri yang berkesenjangan yang dipacu
oleh pesatnya kemajuan selama masa pembangunan jangka panjang pertama.
Komunis-komunis kecil yang semula relative tertutup dan homogeny serta bertumpu
pada hubungan antar respon (interpersonal
relation) kini terbuka dan terlibat dalam jaringan sosial yang lebih luas
dengan lingkungan kerabat yang dilandasi oleh hubungan kelembagaan (impersonal). Perluasan jaringan itu
sering kali menimbulkan masalah sosial yang tidak diduga karena kuatnya ikatan
tradisi masyarakat yang bersangkutan. Belum lagi terhitung kemungkinan
timbulnya masalah sosial yang ditimbulkan oleh meningkatnya intensitas pengaruh
ekonomi pasar yang dibarengi dengan kegiatan pengusaha kecil (penny capitalism). Dikalangan masyarakat
yang masih tertumpu pada ekonomi substansi, pergolakan sosial yang disertai
kekerasan akhir-akhir ini menunjukan betapa besarnya kebutuhan akan kebudayaan
nasional yang dilandasi nilai-nilai luhur Pancasila sebagai acuan bersama dalam
mencapai kemajuan.
Disamping meningkatkan intensitas
dan perluasan jaringan sosial dan ekonomi pasar, masyarakat Indonesia dimasa
ini memerlukan kerangka acuan dalam menilai dan menyerap informasi yang semakin
deras melanda negeri. Selisih pendapat tentang berbagai pesan dan informasi
karena adanya perbedaan kerangka acuan yang digunakan dalam masyarakat majemuk
dapat menimbulkan masalah sosial yang disertai kekerasan. Oleh karena itu,
pengembangan kebudayaan nasional atas dasar nilai-nilai luhur yang telah
disepakati harus dilaksanakan secara bersungguh-sungguh dan berkelanjutan.
Etos kebudayaan bangsa harus
ditanamkan dan dikukuhkan dalam kelembagaan sosial dan kebudayaan bangsa
melalui proses pendidikan dalam arti luas (enculturasi)
juga harus dikembangkan dengan nilai-nilai budaya instrumental dan pengembangan
daya saing mengahadapi tantangan jaman secara teratur dan berkelanjutan. Etos
kebudayaan itu akan membentuk kepribadian bangsa (modal personality). Berbekal kepribadian yang kuat yang berbasis
pada nilai-nilai budaya luhur (Pancasila), persatuan dan kesatuan bangsa akan
lebih mantap tanpa mengorbankan kreatifitas pembaruan dan era globalisasi.
Hal itu dapat menjadi rujukan dalam
upaya pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang selalu terampil dan ahli
dalam mengendalikan teknologi dan organisasi modern serta mempunyai pandangan
jauh kedepan, penuh perhitungan, dan senantiasa mengejar kemajuan dalam
mengahadapi persaingan ; mengembangkan pranata sosial (social adaptation) yang mendukung pengembangan organisasi di luar
lingkungan kekerabatan dan kedaerahan dalam menghadapi tantangan secara
bertanggung jawab dan dalam mengejar kemajuan secara perorangan dan kolektif ;
menciptakan arena dan kondisi sosial yang mendukung pengembangan dan
kreatifitas pembaruan yang sejalan dengan pesatnya kemajuan dan penerapan
teknologi demi kesejahteraan penduduk dan seluruh umat manusia ; dan mempermudah
masyarakat memperluas jaringan dan meningkatkan intensitaspergaulan antar
sesame warga negara dan antar bangsa dalam kesetaraan yang adil dan beradab.
Harus diakui bahwa upaya menanamkan
dan mengukuhkan etos kebudayaan bangsa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat
Indonesia yang majemuk bukanlah pekerjaan yang mudah dan sederhana. Pekerjaan
itu tidak dapat ditangani jika diposisikan sebagai sambilan atau pelengkap dari
suatu lembaga yang telah memiliki tugas dan fungsi khusus. Untuk pendidikan
kebudayaan, diperlukan sekurang-kurangnya suatu lembaga pemerintah yang
setingkat departemen sehingga dapat melaksakan program pembangunan dibidang
kebudayaan dalam arti luas.
Tahap
Revitalisasi Kebudayaan menurut Turmudzi (materi kuliah) adalah :
1.
Menciptakan
emansipasi diri yang berkesadaran penuh atas tugas dan tanggung jawab sebagai
seorang manusia Indonesia yang mempunyai nilai-nilai Illahiah.
2.
Menyaring
dan menyuling sumber-sumber daya masyarakat, dan mengubah penyebab kebobrokan
dan kemandegan menjadi kekuatan.
3.
Mengubah
kesenjangan sosial yang ada menjadi suatu kesadaran akan tanggung jawab sosial,
dengan cara memanfaatkan kekuatan manusia secara optimal.
4. Menjembatani
kesenjangan antara massa kelas menengah (intelektual) dengan massa kelas bawah
(rakyat kebanyakan) dengan menjalin komunikasi dan hubungan kekeluargaan
(ukhuah) dan pemahaman diantara mereka, sehingga dengan demikian dapat
menempatkan Pancasila sebagai energy gerakan untuk kepentingan rakyat
kebanyakan.
5. Kita harus tetap
bersandar pada budaya asli masyarakat / lokal (budaya lokal), karena akan
memungkinkan kebangkitan dan kelahiran kembali kemerdekaan budaya dalam
menghadapi globalisasi.
6. Untuk melemahkan
fungsi elit-elit politic (kelas atas) yang merusak etika dan moral bangsa dan
Negara ini, harus ada kesatuan antara massa kelas menengah (intelektual) yang
tercerahkan budi (hati) dan pekertinya (pikiran) dengan massa kelas bawah
(rakyat) dalam melumpuhkan anarkin ekonomi dan sosial yang diciptakan elit-elit
tersebut.
Strategi
Revitalisasi kebudayaan menurut Turmudzi (materi kuliah) adalah :
1.
Intelektual
kreatif
Mengkaji
dan menegaskan kembali sekaligus mensosialisasikan lagi Pancasila sebagai
pemersatu bangsa yang harus berhasil dalam membangun persatuan dan peradaban
masyarakat Indonesia yang kerkeadilan serta bebas dari kebobrokan.
2.
Pendidikan
dan kebudayaan.
Yang
dimaksud adalah dengan membenahi kerancuan-kerancuan daripada faktor pendidikan
yang selama ini membuat kemandegan dan keterasingan (kering) semangat
pencerahan dalam dunia pendidikan dan kebudayaan. Kita semua harus terlibat
aktif dalam merangkai kembali bingkai-bingkai peradaban muktahir dalam ajaran
agama islam dari segi pendidilan dan kebudayaan, dengan jalan menguatkan
kembali keyakinan akan keagungan manusia sebagai mahluk ciptaan Allah SWT.
3.
Propaganda.
Yang
dimaksud adalah lewat peran propaganda ini kita dapat mengkomunikasikan secara
antusias dan progresif dalam implementasi perubahan yang di inginkan dalam
masyarakat Indonesia. Banyak cara untuk mengusung propaganda ini di antaranya
adalah melalui media massa, khutbah atau pidato keagamaan,
konferensi-konferensi ilmiah, kongres maupun seminar.
3.3.
Reformasi
Birokrasi Indonesia
3.3.1. Birokrasi dan fungsi pelayanan
Dalam suatu Negara administrative,
pemerintah dengan seluruh jajarannya biasa dikenal sebagai abdi Negara dan abdi
masyarakat. Dalam bahasa yang sederhana peranan tersebut diharapkan terwujud
dalam pemberian sebagai jenis pelayanan yang diperlukan oleh seluruh warga
masyarakat.
Pemerintahan di suatu Negara
ditingkat nasional terdiri atas berbagai satuan kerja yang dikenal dengan
berbagai nomenklatur seperti kementrian, departemen, direktorat jendral, badan
biro, dan sebagainya, sebagian diantara mempunyai satuan-satuan kerja diseluruh
wilayah kekuasaan Negara, juga dikenal aparatur pemerintahan daerah dengan
aneka ragam nomenklatur pula seperti provinsi, kabupaten, kecamatan, kelurahan
dan desa. Keseluruhan jajaran pemerintahan Negara tersebut merupakan satuan
birokrasi pemerintahan yang juga dikenal dengan istilah cipil service.
Diantaranya berbagai satuan kerja yang teradapat dalam lingkungan pemerintahan,
terdapat pembagian tugas yang pada umumnya didasarkan prinsip fungsionalisasi.
Disoroti dari segi pemberian
pelayanan kepada masyarakat, fungsionalisasi berarti bahwa setiap instansi
pemerintah berperan selaku penanggung jawab utama atas terselenggaranya fungsi
tertentu dan perlu bekerja secara terkoordinasi dengan instansi lain. Setiap instansi pemerintah mempunyai
“Kelompok pelanggan” (clientele groups).
Kepuasan kelompok pelanggan inilah yang harus dijamin oleh birokrasi
pemerintah, antara lain : kelompok masyarakat yang memerlukan pelayanan
dibidang pendidikan dan pengajara dilayani oleh instansi yang secar fungsional
menangani bidang pendidikan dan pengajaran, kelompok masyarakat yang termasuk
kelompok produktif dan mencari nafkah dengan bekerja bagi organisasi atua
perusahaan menjadi “pelanggan” bagi instansi yang mengurus ketenaga kerjaan,
warga masyarakat yang ingin meningkatkan kesehatan atau pengobatan menjadi pelanggan
dari instansi yang menangani kesehatan rakyat secara nasional, yaitu departemen
kesehatan, para industriawan, dan usahawan baik disektor riil atau formal
maupun informal menjadi pelanggan dari instansi yang menangani industri dan
perdagangan dan sebagainya. Jadi, pada dasarnya masyarakat ingin mendapatkan
pelayanan yang sesuai dengan harapannya , yaitu mengharapkan pelayanan yang
cepat, bersahabat, dan mudah tanpa prosedur yang berbelit-belit.
Pada dasarnya pemerintah beserta
jajaran aparatur birokrasi bukanlah satu-satunya pihak yang bertanggung jawab
untuk menyelenggarakan berbagai kegiatan pembangunan nasional, tetapi merupakan
kenyataan bahwa peranan pemerintah dan seluruh jajarannya bersifat dominan.
Pemerintah berfungsi antara lain untuk menjabarkan strategi pembangunan
nasional menjadi rencana pembangunan, baik untuk kepentingan jangka panjang,
jangka menengah, dan jangka pendek. Aparat birokrasi pemerintah pulalah yang
harus menciptakan iklim yang kondusif untuk meningkatkan kepedulian dan pertisipasi
berbagai kelompok masyarakat, bahkan juga dalam mengalokasikan sumber daya dan
dana tertentu, untuk menyelenggarakan fungsi tersebut, birokrasi pemerintah
harus menjadi intrumen yang andal, tangguh, dan profesional, ciri-ciri tersebut
berlaku bagi seluruh jajaran birokrasi. Akan tetapi merupakan tuntutan kuat
bagi mereka yang tergolong sebagai elite birokrasi atau elite administrasi,
artinya mereka mendapat kepercayaan menduduki jabatan menejerial publik tingkat
tinggi dan mengemban misi pengabdian kepada kepentingan Negara dan bangsa. Oleh
karena itu, elite administrasi atau elite birokrasi harus mampu berperan selaku
administrative policy makers dan sebagai pelaksana keputusan politik yang telah
dirumuskan dan ditentukan oleh elite politik. Agar mampu menampilkan kinerja
yang memuaskan, elite administrative harus memelihara hubungan kerja yang
bersifat kooperatif dengan elite politik. Hubungan kerja yang serasi dan kerja
sama yang harmonis dikatakan mutlak.
3.3.2. Birokrasi dan fungsi pengaturan
(regulatory functions)
Fungsi pengaturan mutlak
terselenggara dengan efektif karena kepada suatu pemerintahan Negara diberi
wewenang untuk melaksanakan berbagai peraturan-perundangan-undangan yang
ditentukan oleh lembaga legislative melalui berbagai ketentuan pelaksanaan dan
kebijaksanaan. Berbagai ketentuan pelaksanaan dan kebijaksanaan tersebut dapat
merupakan pemberian dan perluasan kesempatan bagi warga masyarakat melakukan
kegiatan tertentu, tetapi dapat pula berupa pembatasan jika diyakini bahwa
pembatasan tersebut adalah untuk kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Ketentuan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan pemerintah mungkin berupa pembatasan,
bentuknya dapat beraneka ragam. Kebijaksanaan demikian dapat dibenarkan asal
saja kriterianya adalah kepentingan bangsa dan Negara, cakupannyapun dapat
meliputi semua bidang kehidupan, misalnya jika para investor asing hanya mau
memanfaatkan kekayaan nasional, termasuk sumber daya manusia, tanpa memberikan
kontribusi kepada Negara seperti dalam bentuk alih kemahiran manajemen, alih
teknologi, dan penanaman kembali sebagian keuntungan di Negara dimana
perusahaan asing tersebut bergerak dan pajak, maka wajar apabila pemerintah
melakukan pembatasan. Contoh lain dibidang ekonomi adalah pembatasan bagi
produsen komoditi tertentu untuk mengurangi ekspornya ke luar negeri apabila
komoditi tersebut mempunyai nilai strategis dan sangat diperlukan didalam
negeri sendiri. Namun, berbagai kebijaksanaan yang bersifat membatasi itu perlu
dirumuskan dan ditentukan dengan sangat berhati-hati agar jangan sampai hanya
menguntungkan pihak-pihak tertentu dan merugikan berbagai pihak lain dan agar
tetap menjamin terlindunginya hak asasi para warga Negara.
Pada dasarnya sering kali aparatur
pemerintah bekerja berdasarkan pendekatan legalistik. Pendekatan legalistik
disini antara lain ialah bahwa dalam menghadapi permasalahan pemecahan yang
dilakukan, dengan mengeluarkan ketentuan normative dan formal, misalnya
peraturan dan berbagai peraturan pelaksanaanya. Hal yang dapat timbul dengan
pendekatan seperti ini tentunya tidak ada yang salah bila aparatur pemerintah
bekerja berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Akan tetapi
pendekatan yang demikian menjadi tidak tepat apabila terdapat persepsi bahwa
peraturan perundang-undangan tersebut merupakan hal yang self implementing seolah-olah dengan dikeluarkannya
perundang-undangan tersebut permasalahan yang dihadapi sudah terpecahkan dengan
sendirinya, padahal tidak demikian seharusnya, sehingga timbul kecenderungan
untuk menerapkan peraturan perundang-undangan tersebut secara kaku. Dalam
praktik kekakuan demikian dapat terlihat pada interpretasi secara harfiah,
padahal yang lebih diperlukan adalah menegakan hukum dan peraturan itu dilihat
dari semangat dan jiwanya, artinya bahwa pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan situasional.
Birokrasi pemerintah bisa berjalan
dengan baik jika ada peraturan yang mengatur keberadaan dan prosedur
pelayanannya. Prosedur yang jelas dan transparan penting tidak hanya bagi
birokrasi tetapi juga bagi masyarakat sebagai pengguna pelayanan dari
birokrasi. Tanpa adanya permainan yang jelas birokrasi tidak dapat bekerja
secara efesien dan efektif. Pada sisi lain, aturan yang jelas itu juga dapat
melindungi masyarakat
dari
perilaku birokrasi yang sewenang-wenang.
Menurut
Peter A. blau dan Charles H. Page dalam Bintoro, “Birokrasi dimaksudkan untuk
mengorganisir secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak
orang. Birokrasi adalah tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk
mencapai tugas-tugas administrative yang besar dengan cara mengoordinasikan
secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang. Perhatian perlu
dibrikan dalam hubungannya dengan peranan birokrasi didalam suatu masyarakat
yang mengadakan perubahan kearah pembaruan. Birokratisasi dapat menjadi
kekuatan yang baik untuk pertumbuhan sebagai hasil pelaksanaan kegiatan yang
efesien, tatapi juga dapat menjadi alat yang menghambat perubahan. Dalam hal
ini birokrasi dapat berkembang kearah salah satu diantara kedua hal tersebut.
Birokrasi dapat menghambat perubahan sosial jika yang lebih menonjol adalah apa
yang disebut sikap “ritualis”.
Sikap
birokrasi disini adalah mengembangkan standard dan prosedur tata kerja dan
memperinci kewenangan secara detail, kemudian dijadikan sesuatu yang rutin dan
dilaksanakan secara ketat. Tidak ada tempat bagi sesuatu kebijaksanaan
administrative yang mungkin sedikit menyimpang tetapi memberikan pemecahan
masalah, melaksanakan kegiatan berdasarkan standar maupun aturannya menjadi
tujuan, dan bukan alat untuk mencapai sesuatu tujuan administrative. Sering
kali hal ini terkait erat dengan disiplin pelaksanaan kerja sesuai dengan
wilayah kewenangan masing-masing, karena para anggota birokrasi kemudian hanya
merupakan bagian dari mesin yang ketat, sering kali juga inisiatif dan gagasan
baru menjadi tumpul.
Keadaan seperti ini akan tidak
sesuai dengan kebutuhan proses sosial yang cepat atau tidak memberikan dorongan
bagi usaha perubahan dimana standar serta aturan rutinnya itu sendiri perlu
secar terus menerus disempurnakan.
3.3.3. Birokrat sebagai unsur pembaruan.
Pemerintah dengan seluruh jajarannya
harus merupakan sumber ide-ide baru, keadaan masyarakat yang semakin
berkembang, tuntutan akan pelayanan semakin lama semakin berkembang pula.
Kondisi demikian menuntut aparatur pemerintah harus dapat memainkan peranan
yang penting. Efesiensi dan efektifitas merupakan salah satu prinsip manajemen
yang harus selalu dipegang teguh, baik dalam rangka pelaksanaan kegiatan rutin
apalagi dalam penyelenggaraan pembangunan nasional.
Hal ini penting karena pemerintah
selalu dihadapkan kepada situasi kelangkaan karena keterbatasan kemampuan
menyediakan dana, daya, sarana, prasarana, sumber daya manusia yang ahli,
terampil dan keterbatasan waktu.
Peranan aparatur dalam birokrasi
pemerintahan sebagai unsur pembaharu yang harus memiliki kemampuan untuk
mendesain strategi usaha berencana yang mendorong kearah pembaruan dan
pembangunan dalam berbagai kebijaksanaan atau dalam suatu rencana maupun dalam
realisasi pelaksanaannya. Juga kemampuannya untuk melihat saling berkaitan dari
berbagai segi yang perlu ditumbuhkan dengan tidak kehilangan prioritasnya.
Namun dalam realisasinya sering kali terjadi inefesiensi yang dapat timbul
karena faktor kelembagaan, procedural, kurangnya keahlian dan keterampilan,
serta karena perilaku negative para pelaksana. Faktor kelembagaan dapat menjadi
penyebab inefesiensi terutama jika tipe dan struktur organisasi tidak tepat.
Tipe organisasi yang biasanya digunakan dalam lingkungan pemerintahan ialah
dalam bentuk pyramidal dimana terdapat sejumlah lapisan kewenangan yang pada
umumnya berakibat pada lambatnya proses pengambilan keputusan dengan demikian
sering terjadi pemborosan waktu. Struktur piramida ini seyogyanya ditinggalkan
dan menggunakan struktur fungsional yang lebih datar, seperti yang dilakukan
oleh organisasi siswa.
Bentuk hierarki pyramidal teklah ketinggalan dari realita jaman sekarang,
oleh karena itu jika birokrasi selalu ingin survive, birokrasi harus mau menyesuaikan
diri dengan lingkungan yang selalu berubah. Organisasi masa depan tidak hanya
menempatkan diri pad kohorensi internal dan pemusatan kekuasaan, tetapi juga
memusatkan pada interaksi eksternal dan interaksi sosial yang berhubungan
dengannya. Dengan demikian perlu adanya reformasi dalam birokrasi pemerintah
antara lain berusaha merubah sikap keterbukaan para pelakunya. Adalah hampir
tidak mungkin melakukan perubahan dan pembaruan prosedur dan aliran kerja
menjadi lancer, melakukan pembaruan pelayanan kepada masyarakat agar mampu
bersaing, tetapi menghalangi orang-orangnya untuk berkembang.
Birokrasi yang tertutup dan centralized menghasilkan kelangkaan
keterbukaan didalamnya, oleh karena itu dalam upaya mereformasi birokrasi
pemerintah yang paling mendasar ialah bagaimana bias mengubah mindset dan perilaku dari para pelaku birokrasi
publik. Prosedur kerja yang tidak jelas atau rumit dapat menjadi sumber
inefesiensi. Prosedur demikian tidak hanya berakibat pada sulitnya melakukan
koordinasi, tetapi juga memungkingkan terjadinya duplikasi atau tumpang tindih
dalam pelaksanaan tugas, misalnya, karena tidak adanya uraian pekerjaan dan
analisis pekerjaan disamping prosedur yang adakalanya berbelit-belit padahal
dapat dibuat sederhana, dengan demikian maka diperlukan penyederhanaan
pekerjaan dalam pelaksanaan tugas-tugas sehingga efesiensi dapat tercapai.
Dalam lingkungan pemerintah perlu
ditingkatkan profesionalisme dan pengetahuan serta keterampilan yang spesifik,
antara lain melalui pendidikan dan latihan sebagai instrument pemutakhiran.
Profesioanalisme disini adalah keadaan dalam pelaksanaan tugas sehingga
terlaksana dengan mutu yang tinggi, waktu yang tepat, cermat, dan dengan
prosedur yang mudah dipahami dan diikuti oleh para clientele. Oleh karena itu diperlukan pengetahuan yang mendalam
tentang seluk beluk tugas dengan segala implikasinya dan keterampilan yang
memungkinkan para tenaga pelaksana bekerja dengan baik karena dikuasainya
berbagai segi teknis yang terdapat dalam setiap tugas pekerjaan.
Didalam suatu pembangunan
dikehendaki suatu orientasi dan kemampuan untuk melaksanakan tugas baru
pemerintah, dan didalm perombakan serta penyempurnaan administrasi harus pula
memuat berbagai penyempurnaan dalam orientasi maupun administrasi kepegawaian,
untuk tujuan ini adalah membina suatu faktor karier pegawai yang didasarkan
atas prestasi dan kemampuan kerja. Oleh karena itu, dirasakan perlu untuk
memperluas sumber kepegawaian dengan keahlian yang diperlukan dalam tugas-tugas
pemerintah. Dalam hal ini dibutuhkan tenaga yang terlatih dan kompeten untuk
dapat melaksanakan pekerjaan pemerintahan. Peranan birokrasi pemerintah harus
dapat menempatkan diri sebagai entrepreneur langsung dalam proses pembangunan,
dengan demikian membutuhkan dengan sendirinya adanya sifat entrerpreneur dalam
kepegawaian.
Birokrasi pemerintah sebagai
entrepreneur memerankan diri sebagai pendorong, pengarah, dan berusaha
menggairahkan kegiatan sosial ekonomi masyarakat, perlu kiranya dikembangkan
orientasi pelayanan yang dapat merangsang kegairahan tersebut, dimana aparatur
birokrasi sebagai public serevant.
Tidak kurang penting adalah perlunya
perubahan orientasi yang legalistis dan terikat pada formalisme berubah kearah
sikap pemecahan masalah. Dengan demikian adanya perubahan peranan birokrasi
pemerintah sebagai penggerak pembangunan. Kepatuhan aparatur birokrasi
pemerintah kepada hal yang bersifat legalistis bukanlah kepatuhan yang bersifat
seperti robot, tetapi bersifat situasional dan penuh dengan dinamika, berarti
disini dipelukan kreatifitas yang tinggi dalam melaksanakan tugas pekerjaan.
Peningkatan kreatifitas kerja hanya mungkin terjadi apabila terdapat iklim yang
mendorong par anggoat birokrasi pemerintah mencari ide-ide dan konsep baru
serta menerapkannya secara inofatif, terdapat kesediaan pimpinan untuk
memberdayakan para bawahannya antara lain melalui partisipasi para bawahannya tersebut untuk mengambil keputusan
yang menyangkut pekerjaannya, mutu hasil pelaksanaan tugasnya, kariernya, dan
cara-cara yang dianggapnya paling efektif menyelesaikan permasalahan yang
dihadapinya ditempat pekerjaan. Dengan demikian
para pelaksana berprakarsa dalam pelaksanaan tugas dan tidak hanya bersifat menunggu perintah atau instruksi,
baru melaksanakan tugas.
Indikator
keberhasilan reformasi birokrasi menurut Turmudzi (teori kuliah) adalah :
1. Berkurangnya
praktek KKN.
2. Sistem pemerintahan
sederhana, efisien, efektif.
3. Terhapusnya aturan
tumpang tindih dan diskriminatif.
4. Peningkatan
partisipasi masyarakat dalam kebijakan public.
5. Seluruh peraturan
pusat dan daerah tidak bertentangan.
Keberhasilan ini harus ditunjang dengan dibuatnya
payung-payung hukum reformasi birokrasi, diantaranya :
1.
Undang-undang adm,inistrasi pemerintahan
2.
Undang-undang pelayanan public
3.
Rencana Undang-undang etika penyelenggaraan
Negara
4.
Rencana Undang-undang kementrian dan
kementrian Negara
5.
Rencana Undang-undang kepegawaian Negara
Simpulan.
Pada hakekatnya masalah keterpurukan
bangsa ini tidak lepas dari masalah kemiskinan, ketelantaran dan permasalahan
sosial lainnya yang terjadi dilingkungan masyarakat lokal. Untuk itu
penangganan masalah sosial harus dibasiskan masyarakat karena masyarakatlah
yang paling tahu kondisi permasalahannya. Penangganan permasalahan sosial yang
sentralistik dan sektoral hanya mengakibatkan masyarakat semakin tidak perduli
terhadap masalah sosial yang berkembang dilingkungannya.
Keanekaragaman faktor sosial budaya
di Indonesia harus dipahami sebagai potensi yang pemanfaatannya belum optimal
dalam proses pembangunan masyarakat. Padahal faktor sosial budaya lokal
merupakan modal sosial yang besar yang telah tumbuh berkembang secara turun
temurun yang hingga kini masih kuat berakar dimasyarakat.
Aktualisasi faktor sosial budaya
lokal menjadi masalah yang strategis untuk didiskusikan kembali. Lebih-lebih
bila dikaitkan dengan keadaan di Indonesia yang berada dalam proses demokrasi
dan reformasi disegala bidang pembangunan. Ketika Indonesia mengalami
keterpurukan akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, strategi pembangunan
yang berpusat pada rakyat agaknya membutuhkan perubahan yang sangat mendasar
dari pendekatan yang caritis atau residual menjadi faktor pemberdayaan
masyarakat.
Strategi pemberdayaan masyarakat
berbasiskan faktor budaya lokal perlu diformasikan secara tepat tanpa harus
membuat pola-pola seragam seperti pada masa orde baru. Karena itu pencanangan
penanggulangan masalah kemiskinan atau permasalahan sosial lainnya harus
dibatasi sampai pada saat mobilisasi sosial atau penyadaran (konsistensi
masyarakat). Sementara itu proses pemberdayaannya harus dilimpahkan kepada
masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini pemerintah lebih berperan sebagai
fasilitator, mediator, faktor pendukung, pengakses sumber sosial, dan
peran-peran lain yang bersifat tidak langsung.
Organisasi pemerintah pada umumnya
dikatakan sebagai birokrasi, sedangkan yang memegang peranan dalam dececien
making sehari-hari adalah para demorat. Oleh karena itu para pejabat demokrasi
harus mampu berpikir secara kompleks, sistematis, rasional, di dalam
menjalankan berbagai macam fungsi dan tugas Negara. Latar belakang pendidikan
akademis merupakan salah satu persyaratan utama dan mendasar untuk pengadaan
pegawai dan penempatan personil, terutama pada jabatan-jabatan yang harus
melakukan kalkulasi, perkiraan, planning, policy formalition, dan dececcion
making. Namun dibalik itu tidak kalah pentingnya adalah syarat-syarat
kepribadian karena pada birokrat tersebut harus banyak berhubungan dengan warga
masyarakat artinya bahwa disamping terampil dan memiliki skill dalam tugas
tetapi harus juga pandai “merakyat” dan melayani masyarakat dengan penuh
tanggung jawab tanpa pamrih atau tanpa perhitungan untung rugi pribadi.
Sudut pandang bahwa birokrasi
merupakan sesuatu yang sakral yang mencerminkan kekuasaan para pejabat birokrasi
serta sulit ditembus oleh lapisan masyarakat yang sering kali berada pada
possisi yang lemah dihadapan kekuasaan birokrat hal ini tentu saja sudut
pandang tersebut perlu dirubah karena pada dasarnya birokrasi adalah hanya alat
dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kepada masyarakat. Birokrat sebagai
pelaksana birokrasi tidak hanya terpaku pada aturan legalistic yang kaku saja,
tetapi berorientasi yang dinamis utnuk melaksanakan legal tersebut. Birokrat
harus tanggap terhadap masalah-masalah yang timbul dalam masyarakat.
Perkembangan masyarakat membawa tuntutan-tuntutan yang membutuhkan jawaban jika
jawabannya tidak sepadan dengan tuntutannya maka akan membawa ketidakpuasan
dalam masyarakat, oleh karena itu birokrat haruslah mampu menjawab tuntutan
masyarakat yang senantiasa berkembang.
Birokrasi pemerintahan yang
dilaksanakan oleh para birokrat harus selalu mengarah pada kepentingan
masyarakat. Kekuasaan yang selama ini berada pada tangan birokrat haruslah
beralih fokusnya pada masyarakat karena pada sesuatu yang terjadi dan dibuat
kebijakan oleh para birokrat bersumber dari aspirasi, kebutuhan, dan
kepentingan masyarakat. Yang tidak kalah pentingnya dari masyarakat adalah para
biriokrat sadar dimana dia harus bertindak dan bersikap dengan mempergunakan wibawa
dan kekuasaan Negara, serta kapan dia harus bersikap sebagai pelayan dan abdi
masyarakat yang tidak boleh menunjukan sikap hanya main kekuatan dan kuasa.
Saran-saran
Agar bangsa Indonesia bisa kembali
bangkit dari keterpurukan segala bidang maka tidak ada jalan lain bangsa
Indonesia harus kembali kepada falsafah hidupnya, yaitu nilai-nilai luhur yang
tercermin didalam sila-sila Pancasila dan kembali kepada kebudayaan asli bangsa
Indonesia yang terbentuk dari kebudayaan-kebudayaan daerah yang merupakan
refleksi dari kebudayaan Bhineka Tunggal Ika. Untuk kebangkitan masalah
keterpurukan dari sisi penyelenggaraan Negara atau birokrasi disamping kita
tetap berpegang pada landasan ideologi Pancasila kita berpegang teguh pada
aturan-aturan konstitusi yang terkandung didalam Undang-undang 1945 dan tidak
bisa ditawar-tawar lagi dan secara terus menerus dan konsisten disosialisasikan
kepada seluruh masyarakat. Masalah keterpurukan bangsa disegala bidang
bukan tanggung jawab pemerintah semata ini menjadi tugas seluruh masyarakat
Indonesia untuk memperbaiki dimulai dari pengembangan diri pribadi baik secara
lahir (ilmu pengetahuan, wawasan) maupun bathin ( religi, kepekaan sosial dan
kepekaan spiritual)
SELAMAT MEMBACA.
BalasHapus