MELALUI
PENYEDIAAN PERUMAHAN BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN
RENDAH(MBR)
Oleh :
Deddy Pandji Santosa
BANDUNG, Juni 2015
ABSTRAK
Kita ketahui bersama, bahwa perumahan dan
kawasan pemukiman merupakan hak dasar masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1),
bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal,
dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan
kesehatan.
Dalam Millenium Development Goals (
MDGs), masalah kemiskinan menjadi salah satu tujuan yang hendak dicapai. Atas
dasar ini pemerintah menargetkan Indonesia terbebas dari kawasan pemukiman
kumuh di perkotaan pada tahun 2020. Namun dengan melihat kenyataan pemukiman
kumuh di kota-kota besar Indonesia semakin meningkat 1,37 % menjadi 57.800 Ha
dari kondisi sebelumnya, yaitu 54.000 Ha pada akhir tahun 2004 ( UNDP), maka
untuk mewujudkan kota bebas kumuh sebagai salah satu tujuan MDGs tersebut
diperlukan beberapa alternative solusi yang tepat.
Kata Kunci: Pemukiman Kumuh,
Prasarana sarana utilitas, Rumah susun.
PENDAHULUAN
Problematika
permukiman kumuh adalah problematika bangsa yang membutuhkan penanganan serius,
bahkan penanganan permukiman ( rumah-rumah ) kumuh ini telah mulai dilaksanakan
pada masa kolonial dengan nama Program Perbaikan Kampung ( Kampung Verbetering Program), dimasa pemerinatah Orde Baru sampai
sekarang program perbaikan permukiman terus dilakukan seperti ; Program MH
Thamrin dan WR Supratman, Program Perbaikan Kampung ( Kampoong Improvement Program/KIP), KIP Komprehenshif, Program
Penanganan Lingkungan Permukiman Kumuh(P2LPK), Program Pembangunan Prasarana
Kota Terpadu ( P3KT), Program Peningkatan Kualitas Lingkungan (PKL), Penanganan
Kumuh Berbasis Kawasan, dll, dan terus
dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan hasil evaluasi terhadap
program-program yang telah dilaksanakan. Pada Tahun 2000 lalu, agenda
penanganan permukiman kumuh telah dicantumkan secara eksplisit dalam Pencana
Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2000-2025, dimana dalam RPJP pemerintah
menargetkan segala permasalahan “kumuh” dapat teratasi dengan baik di tahun
2025. Akan tetapi berdasarkan arahan dari Presiden, target tersebut diharapkan
dapat lebih cepat terselesaikan pada tahun 2020. Kemudian pertanyaannya, apakah
di tahun 2020 wajah perkotaan benar-benar akan bebas dari permukiman kumuh?.
Akar Masalah
Para
ahli dan praktisi pembangunan kota melihat bahwa belum berhasilnya pembangunan
permukiman di berbagai kota besar di Indonesia lebih banyak dikaitkan dengan
persoalan urbanisasi ( penduduk miskin), keterbatasan lahan perkotaan dan
kurang tepatnya program-program pembangunan kota. Interaksi ketiganya telah
memunculkan kehidupan masyarakat miskin pendatang dengan fasilitas pemenuhan
kebutuhan dasar yang tidak layak di perkampungan padat penduduk ( permukiman/perkampungan
kumuh). Namun sebenarnya akar masalah pemicu munculnya permukiman kumuh di
perkotaan juga berkaitan dengan masalah paradigma proyek dan pemerataan
pembangunan ( Prasojo, 2010).
Bahkan
akar masalah permukiman kumuh lebih bersifat kompleks yaitu karena adanya:
1.
Pembiaran ( neglegiance)
berkembangnya ruang-ruang marjinal perkotaan;
2.
Lemahnya pengelolaan kota;
3.
Belum adanya pengenalan terhadap
kebutuhan ( housing need assessment)
dan persediaan rumah ( housing stock
evaluation) secara utuh dan partisipatif; dan
4.
Belum adanya pengembangan system
penyediaan perumahan secara utuh ( housing
delivery system) M.J Siregar (2012).
Dengan
melihat berbagai faktor penyebab permukiman kumuh tersebut, maka permasalahan
tentang bagaimana pemerintah memperlakukan penduduk miskin perkotaan dalam
proses pembangunan kota sebenarnya merupakan hal yang paling mendasar untuk
didiskusikan. Hal ini karena terkait dengan tanggung jawab utama pemerintah
dalam pelaksanaan fungsi mewujudkan kesejahteraan, ketertiban, pelayanan publik,
dan lainnya di bidang pembangunan permukiman yang harus mewujudkan kepentingan publik
( masyarakat miskin perkotaan).
1.
Alternatif
Kebijakan ( Konsep 1/3).
Konsep
untuk mewujudkan tahun 2020 sebagai tahun kota bebas kumuh dengan
merealisasikan konsep “Membangun tanpa Menggusur” yang dibangun melalui
penerapan “konsep1/3”. Dimana pada saat mengembangkan kawasan kumuh tersebut
dialokasikan 1/3 tanah untuk membangun rumah susun sebagai tempat tinggal
pemukim semula, 1/3 tanah untuk public
space, ( infrastruktur seperti jalan, drainase, ruang terbuka hijau dll),
sedangkan 1/3 tanah lagi untuk membangun area komersil oleh developer /swasta
dengan tetap melibatkan masyarakat setempat, dimana pemerintah berfungsi
sebagai regulator dengan tugas dan
wewenangnya. Namun perlu digarisbawahi bahwa untuk menangani permukiman kumuh
ini, dibutuhkan kinerja kolektif. Dan harus mempunyai “satu pintu masuk” dengan
kriteria dan persepsi yang sama pula, dengan begitu akan tercipta satu kebijakan,
satu regulasi, dan satu persepsi yang sama, sehingga penanganan permukiman
kumuh di kota-kota besar di Indonesia, bisa berjalan sesuai dengan harapan.
2. Alternatif Kebijakan
(Prasarana,
Sarana dan Utilitas Perumahan dalam Mendukung Penanganan Kawasan Kumuh
Perkotaan).
Pembangunan
perumahan dan permukiman jika dilakukan dengan benar akan memberikan kontribusi
langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan
kemiskinan. Hal ini disebabkan karena pembangunan perumahan dapat mendorong
pertumbuhan wilayah dan ekonomi daerah, mendukung pembangunan social budaya dan
memberikan efek multiplier terhadap sektor lainnya seperti penciptaan lapangan
kerja, baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Oleh karena itu,
pembangunan perumahan dan permukiman harus didukung oleh suatu kebijakan,
strategi dan program yang komprehenshif dan terpadu.
Kebijakan
yang telah diterapkan oleh pemerintah sehubungan dengan usaha untuk mendorong
agar pengembang dan masyarakat mampu untuk membeli rumah telah cukup bagus
penerapannya, misalnya Fasilitas Likuidasi Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan
bunga yang jauh lebih murah dan penyediaan fasilitas Prasarana, Sarana dan
Utilitas (PSU) untuk mendukung pembangunan infrastruktur kawasan perumahan bagi
Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Keduanya telah memiliki payung hukum
yang sah dan telah dilaksanakan dalam mendukung pembangunan perumahan bagi MBR.
Untuk membenahi hal ini, pemerintah harus bekerjasama dengan pengembang dalam
penyelenggaraan perumahan bagi MBR.
Kerjasama
dalam hal penyediaan lahan bagi keperluan pembangunan perumahan MBR memang
semakin sulit dilaksanakan oleh PEMDA terkait dengan semakin tingginya harga
lahan. Cara lain yang dapat dilaksanakan adalah sinkronisasi penyediaan
jaringan infrastruktur pada kawasan-kawasan yang akan dibangun perumahan MBR
oleh pengembang. Seringkali pengembang mengembangkan perumahan MBR di kawasan
yang relative pinggiran dengan menimbang tingginya harga lahan di pusat
perkotaan, sehingga pemerintah harus bersedia memberikan bantuan utamanya
jaringan infrastruktur berupa jalan menuju kawasan perumahan, jaringan listrik
dan jaringan PDAM. Bantuan pengadaan infrastruktur inilah yang diwujudkan
berupa bantuan prasarana, sarana dan Utilitas (PSU).
Di
sisi lain, kebijakan pemberian PSU dari Kemenpera yang mematok bahwa yang
berhak memperoleh PSU adalah pengembang yang mengembangkan perumahan MBR
minimal 300 unit dengan luas lahan 5 Ha, juga menjadi masalah dalam
penyelenggaraan perumahan MBR. Karena dalam prakteknya, perumahan MBR atau yang
disebut Rumah Sejahtera Tapak ( RST) tidak harus dibangun mengelompok dalam
satu kawasan, melainkan dapat dibangun di beberapa titik sesuai dengan
kebutuhan. Misalnya, apabila dalam satu kawasan kecamatan membutuhkan RST hanya
50 unit, dipaksa di bangunkan di wilayah luar kecamatan sebanyak 300 unit
dengan jarak yang relative jauh, maka perumahan tersebut tidakakan mencapai
sasaran.
Berkaca
dari kedua masalah yang timbul di atas maka skema pencairan PSU harus
diperbaiki. Yang pertama adalah bahwa PSU hendaknya diserahkan kepada
pengembang yang membangun RST, bukan pengembang yang menjual RST. Hal ini akan
memberikan kepastian pembangunan fasilitas dasar kepada pengembang dan end user. Dalam hal ini pengembang dapat
diberikan waktu misalnya 6 bulan untuk memastikan bahwa pengembang benar-benar
membangun RST dan menjualnya kepada MBR.
Cara
lain yang dapat ditempuh adalah dengan memungkinkan pengembang untuk melakukan reimburse apabila membangun kawasan
perumahan untuk MBR dan membangun infrastrukturnya sendiri. Hal ini dikarenakan
untuk menarik para pembeli untuk memiliki RST yang telah dilengkati dengan
infrastruktur akan lebih mudah dibandingkan apabila kawasan tersebut belum
dilengkapi dengan infrastruktur. Dengan catatan PSU yang dibangun sesuai dengan
ketentuan dari Kemenpera. Salah satu cara untuk menunjukkan bahwa perumahan
tersebut benar-benar telah tepat sasaran adalah dengan menunjukkan berapa
jumlah rumah yang dibeli menggunakan fasilitas FLPP sehingga pemberian bantuan
PSU juga akan tepat sasaran ( sinkronisasi PSU dengan FLPP). Kemungkinan reimburse ini akan memiliki dampak yang
sangat positif di mana pengembang akan lebih laluasa dan percaya diri dalam
mengembangkan RST. Di sisi lain tidak akan tercipta permukiman-permukiman kumuh
baru akibat ketidak jelasan pembangunan PSU dalam suatu kawasan/lingkungan
hunian.
3.
Alternatif
Kebijakan
( Semakin Minim
Urbanisasi, Semakin Minim Permukiman Kumuh)
Angka
urbanisasi dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Meningkatnya jumlah
urbanisasi sangat berpotensi meningkatnya volume pemukiman kumuh di perkotaan,
apabila kecenderungan urbanisasi ini terus berlangsung, kelak di tahun 2025
sekitar 67,5% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan (Witoelar,
HUDmags:24). Kita semua menyadari bahwa masalah permukiman kumuh di Indonesia
khususnya di kota-kota besar tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan
program dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih saja banyak kita jumpai
pemukiman kumuh di bagian-bagian kota. Permukiman kumuh ini memiliki
kualitas dan akses ke fasilitas sosial
seperti sekolah, kesehatan, ruang bersama dsb yang sangat rendah.
Dari
keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, kumuh memang sebuah fenomena yang dipicu oleh urbanisasi dan
kepadatan penduduk. Saat ini, hampir separuh penduduk dunia tinggal di
perkotaan dengan rata-rata peningkatan penduduk perkotaan dunia sebesar 3,45%
per tahun Di Indonesia tidak jauh berbeda, pada tahun 2005 penduduk Indonesia
yang tinggal diperkotaan telah mencapai 107 juta atau sebesar 48,1% dari
seluruh penduduk Indonesia, sedangkan luas pemukiman kumuh pada tahun 2004
adalah 54.000 ha dan meningkat pada tahun 2009 mencapai 57.800 Ha.
Kecenderungan ini diperkirakan akan semakin meningkat apabila tidak dilakukan
langkah-langkah pencegahan.
Upaya
peningkatan permukiman kumuh merupakan suatu proses dimana permukiman informal
ditingkatkan secara bertahap untuk di “formal”kan dan dijadikan sebagai bagian
dari kota. Upaya ini dilakukan melalui perluasan jasa pelayanan ekonomi,
social, kelembagaan dan komunitas kepada para penghuni permukiman kumuh.
Peningkatan Penanganan pemukiman kumuh bukan hanya bicara tentang air bersih,
drainase (gorong-gorong) atau perumahan, tetapi lebih banyak memberikan
perhatian pada bagaimana menggerakkan kegiatan social-ekonomi, kelembagaan dan
komunitas agar kehidupan masyarakat dapat terangkat. Kegiatan ini perlu
ditangani secara bersama-sama dengan pihak-pihak yang terkait, baik warga
penghuni, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah ( tingkat pusat dan
daerah). Akses ke pendidikan dan pelayanan kesehatan juga dianggap sebagai
bagian dari peningkatan kualitas. Pada dasarnya, masyarakat yang tinggal di
pemukiman kumuh itu memiliki potensi yang harus diberdayakan, sehingga mereka
menjadi manusia-manusia yang kreatif, mereka harus diperhatikan tanpa
diskriminatif. Meskipun cara memberdayakan masyarakat yang hidup di permukiman
kumuh memang bukanlah perkara yang mudah. Meski sulit, banyak contoh-contoh
kota di Indonesia yang bisa dikatakan sukses menengani pemberdayaan masyarakat
permukiman kumuh, diantaranya Palembang, Solo, Surabaya, Tarakan dll.
Penanganan
permukiman kumuh ini, sangat tergantung kepada sosok pemimpin kota ( Walikota)
tersebut. Jika seorang Walikota peduli untuk menangani permukiman kumuh, maka
hal ini tentu akan menjadi prioritas utama dalam mengambil kebijakannya.
Seperti menangani kemiskinan, pengangguran, permukiman kumuh dll.
Pada
akhirnya permukiman kumuh ini dapat dicegah, dengan meminimalisir jumlah angka
urbanisasi. Lantas bagaimana cara meminimalisir urbanisasi? Jawaban dari
pertanyaan ini harus dilihat dari apa melatar belakangi maraknya urbanisasi.
Witoelar (HUD mags:25) mengatakan: masalahnya sangat sederhana, urbanisasi
terjadi karena di desa sangat minim sekali lapangan pekerjaan dan semua orang
pergi ke kota karena menginginkan kehidupan yang lebih baik. Mereka (kaum
urban) pergi ke kota, karena luasnya lapangan pekerjaan di kota sehingga kota
mempunyai “magnet” tersendiri untuk didatangi.
Dengan
demikian, salah satu solusi agar angka urbanisasi tidak meningkat adalah
membangun pedesaan dengan fasilitas yang layak dan sesuai dengan kebutuhan
masyarakat, mulai dari pendidikan, akses kesehatan, infrastruktur, lapangan
pekerjaan dll. Sehingga dengan begitu desa menjadi kuat secara ekonomi , social
dan budaya. Ketika desa kuat secara ekonomi hingga budayanya maka jumlah
urbanisasi akan berkurang yang berarti mengurangi jumlah permukiman kumuh di
perkotaan.
4.
Alternatif
Kebijakan
( Pembangunan Perumahan
secara Swadaya)
Membengkaknya
jumlah penduduk membuat semakin banyak masyarakat membutuhkan tempat tinggal
atau rumah. Kenyataan ini mendorong pemerintah mencari terobosan guna memenuhi
kebutuhan perumahan bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat berpenghasilan
rendah ( MBR). Kementrian Negara Perumahan Rakyat ( Kemenpera), sejak tahun
2006 telah memberikan fasilitas subsidi perumahan untuk pembangunan dan
perbaikan rumah, yang pelaksanaannya tidak hanya melibatkan perbankan, tetapi
juga lembaga keuangan non bank atau koprasi, kebijakan pemerintah yang membuka
peluang bagi lembaga nonbank atau koprasi untuk berpartisipasi langsung sebagai
lembaga penerbit kredit dalam program kredit perumahan bersubsidi, khususnya
Kredit Pembangunan atau Perbaikan Rumah secara Swadaya (KPRS) Mikro bersubsidi,
telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Melalui program KPRS Mikro
bersubsidi yang melibatkan lembaga keuangan nonbank dan koprasi, pelayanan
terhadap kelompok sasaran berhasil diperluas sehingga tidak hanya melayani
masyarakat berpenghasilan rendah di sektor formal saja, tetapi juga masyarakat
berpenghasilan rendah di sektor informal, yang biasanya tidak memiliki akses
kredit, karena berpendapatan tidak pasti, tidak mempunyai slip gaji, bahkan
kebanyakan tidak memiliki tanah bersertifikat, sehingga dipandang sebagai non
bankable.
Fasilitas
subsidi perumahan bertujuan untuk membantu Masyarakat Berpenghasilan rendah (
MBR) atas sebagian biaya membangun atau memperbaiki rumah sederhana sehat (
RSH) yang pokok pembiayaannya disediakan oleh lembaga keuangan bank atau
lembaga keuangan non bank atau koprasi. Subsidi diberikan kepada masyarakat
berpenghasilan rendah melalui lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non
bank atau koprasi yang telah melakukan MOU dan atau perjanjian kerjasama
operasional dengan Kementrian Negara Perumahan Rakyat. Selain itu, dalam upaya
membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan rumah layak
huni yang dilaksanakan secara swadaya, Kemenpera juga memberikan bantuan stimulan
berupa pemberian bantuan langsung masyarakat ( BLM) dan bantuan peningkatan
kualitas perumahan (PKP). Program BLM lebih ditujukan untuk meringankan
masyarakat berpenghasilan rendah dalam pembiayaan pembangunan rumah baru,
sedangkkan program PKP walaupun secara prinsip mempunyai kesamaan dengan
program BLM, namun lebih ditujukan untuk membantu perbaikan rumah dan
penyediaan prasarana, sarana dan utilitas lingkungan perumahan. Bentuk bantuan
yang diberikan berupa dana untuk membangun yang penyalurannya dilakukan melalui
lembaga keuangan mikro atau lembaga keuangan nonbank atau koprasi setempat.
Dana tersebut merupakan hibah dari pemerintah yang apabila disepakati bersama
oleh para pihak dapat digulirkan sehingga mungkin membantu masyarakat secara
bergilir.
5.
Alternatif
Kebijakan
( Sinergi Penanganan
Kawasan Kumuh dan Penduduk Miskin Perkotaan)
RPJPN
2005-2025 menargetkan pada tahun 2025 kota-kota besar di Indonesia sudah bebas
dari kawasan pemukiman kumuh ( cities
without slums), bahkan sesuai arahan Presiden target tersebut akan
dipercepat menjadi tahun 2020. Untuk mewujudkan hal itu ada dua hal yang harus
menjadi concern bidang pemukiman yaitu penanganan kawasan pemukiman kumuh ( slums area) dan penanganan penduduk
miskin perkotaan ( squatter-poor people)
yang tidak memiliki hunian. Berdasarkan hasil studi dan koordinasi dengan
pemerintah daerah, terindikasi sebanyak 1.189 kawasan pemukiman kumuh yang
tersebar di kota-kota besar dan menengah yang akan dan sedang ditangani secara
terus menerus menuju Indonesia bebas kumuh tahun 2020. Disisi lain kita juga
dihadapkan dengan tantangan upaya penanganan penduduk miskin perkotaan, baik
yang memiliki hunian di kawasan pemukiman kumuh maupun yang tidak memiliki
hunian. Penanganan penduduk miskin ini tentu tidak serta merta terselesaikan
dengan pendekatan hunian ( shelter)
namun diperlukan upaya lintas sektoral yang dilakukan secara terintegrasi.
Penghuni
kawasan permukiman kumuh di sebuah kota tidak selalu merupakan penduduk miskin.
Penduduk miskin perkotaan bisa saja menghuni rumah kumuh yang tidak berada
dalam kawasan permukiman kumuh. Sedangkan penduduk miskin lainnya yang bekerja
di sektor informal, kehidupannya berpindah-pindah menempati ruang-ruang kosong
perkotaan yang bisa dipergunakan untuk berteduh, fenomena inilah yang semakin
banyak terlihat terutama di kota-kota besar.
Tidak
dipungkiri bahwa kawasan permukiman kumuh seringkali identik dengan keberadaan
penduduk miskin, persepsi ini tidak selalu benar karena di dalam kawasan permukiman
kumuh juga terdapat penduduk yang tidak termasuk katagori miskin. Hal ini
ditandai dengan kondisi rumah dan fasilitas yang mereka miliki di kawasan permukiman
kumuh tersebut. Ada dua hal yang mencirikan kawasan tersebut dikatakan kumuh
yaitu, pertama; kawasan tersebut tidak atau kurang terlayani dengan
infrastruktur pendukung kawasan seperti jaringan jalan, drainase, saluran
limbah dll, sehingga kawasan tersebut cenderung mengalami degradasi. Kedua;
hunian di kawasan tersebut secara kasat mata terlihat tidak layak huni yang
ditandai dengan kurangnya ventilasi maupun pencahayaan, disamping mutu material
bangunannya yang tidak layak dijadikan sebagai bahan bangunan untuk sebuah
hunian.
Pola
penanganan sejalan denan amanat UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Permukiman, pada pasal 13 disebutkan bahwa Pemerintah disamping
mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi bidang
perumahan dan kawasan permukiman, juga memfasilitasi pelaksanaan kebijakan dan
strategi pada tingkat nasional. Penanganan kawasan permukiman kumuh dilakukan
melalui penyiapan infrastruktur permukiman dengan pendekatan pengembangan
berbasis masyarakat ( community based
development). Kebutuhan infrastruktur pendukung yang diperlukan di sebuah
kawasan diidentifikasi bersama warga dengan pola pendampingan, dan pendekatan
ini dianggap efektif karena selain mengarahkan program penanganan sekaligus
menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Penanganan
berbasis masyarakat ini harus dilakukan bersamaan dengan penanganan sektor
lainnya. Untuk itu diperlukan sebuah wadah koordinasi dalam tataran
implementasi ditingkat masyarakat. Upaya penguatan Badan Keswadayaan Masyarakat
(BKM) sebagai wadah koordinasi di tingkat masyarakat adalah wadah yang harus
diperkuat dengan pendekatan pendampingan masyarakat juga ( community empowering). Untuk kawasan kumuh yang sudah sangat sulit
ditingkatkan kualitasnya, baik karena alas an kepadatan atau keselamatan
lingkungan dan warga, maka diperlukan upaya untuk merumahkan penduduk ke tempat
hunian yang lebih layak. Upaya merumahkan penduduk di kawasan permukiman kumuh
saat ini dilakukan dengan memberikan kesempatan pindah ke rumah susun sewa (
RUSUNAWA) bagi yang berminat. Upaya merumahkan inipun perlu dilakukan dengan
pendampingan terhadap masyarakat karena terkait dengan pola hidup dan
konsekuensi biaya. Sedangkan untuk mewujudkan lingkungan yang lebih layak,
dilakukan dengan penyediaan infrastruktur pendukung pada kawasan tersebut,
sehingga akses masyarakat terhadap infrastruktur menjadi lebih mudah.
Upaya
peningkatan kualitas lingkungan dan merumahkan penduduk di kawasan permukiman
kumuh harus dilakukan sejalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan perkotaan
untuk menghindari meluasnya kawasan permukiman kumuh perkotaan. Penanganan
penduduk miskin perkotaan yang tidak memiliki rumah dan juga tidak mampu
menyewa, dilakukan dengan upaya untuk merumahkan mereka dengan pola bermukim
sementara ( temporary shelter) sampai
mereka berdaya dan mampu menyewa atau mencicil rumah. Pendampingan masyarakat
juga sangat menentukan keberhasilan program hunian sementara atau hunian
singgah ini.
Konsep
rumah singgah yang digagas adalah konsep”pondok boro” dimana penduduk miskin
perkotaan yang merupakan pekerja musiman maupun para gelandangan yang belum
memiliki identitas, diidentifikasi dan diberi tanda pengenal kemudian
ditempatkan dalam sebuah hunian sementara. Hunian sementara ini seperti halnya
barak yang dilengkapi tempat tidur dan lemari, serta kamar mandi. Selain
mendapat tempat hunian, penduduk miskin perkotaan yang tinggal di “pondok boro”
ini, dengan tanda pengenal yang dimilikinya, juga akan memiliki akses terhadap
berbagai pelayanan public untuk penduduk miskin pada umumnya seperti kesehatan,
pendidikan, dan program penanggulangan kemiskinan lainnya.
Sinergi
penanganan kawasan permukiman kumuh dan penduduk miskin ini diharapkan menjadi trigger dalam mewujudkan kota bebas
kumuh sekaligus juga meningkatkan martabat penduduk miskin perkotaan.
6.
Alternatif
Kebijakan ( Terpilih)
( Pembangunan Rumah
Susun Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Perumahan dan Permukiman Perkotaan).
Perkotaan
dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang tinggi
membuat kebutuhan akan di perkotaan semakin meningkat, sementara itu
ketersediaan lahan menjadi semakin langka dan mahal. Laju pertambahan jumlah
penduduk dan arus urbanisasi yang tinggi mengakibatkan terjadinya tekanan
pertumbuhan kota. Tekanan pertumbuhan kota tersebut dapat berdampak pada
perkembangan perkotaan yang cenderung tanpa kendali ke wilayah pinggiran
perkotaan, serta terjadinya perubahan tata guna lahan, demografi dan
keseimbangan ekologi, menurunnya efisiensi pelayanan prasarana, sarana dan
utilitas, meningkatnya biaya transportasi dan waktu tempuh, penurunan tingkat
produktivitas masyarakat perkotaan. Salah satu jawaban atas permasalahan dan
tantangan perumahan dan kawasan permukiman di perkotaan yaitu untuk mendekatkan
kembali masyarakat berpenghasilan menengah kebawah ke pusat aktivitas
kesehariannya dengan mengedepankan efisiensi lahan/tanah di perkotaan dan
menata kawasan permukiman kumuh di perkotaan adalah dengan pembangunan hunian secara vertikal
berupa Rumah Susun ( Rusun).
Terdapat
3 (tiga) permasalahan pokok dalam penanganan perumahan dan permukiman perkotaan
saat ini yaitu :
1. Keterbatasan
lahan, khususnya lahan perumahan bagi MBR.
2. Meningkatnya
luasan perumahan dan permukiman kumuh, karena ketidak mampuan manajemen kota
dalam menyediakan perumahan yang bagi MBR serta didukung PSU yang memadai.
3. Kemampuan
MBR dalam mengakses sumberdaya perumahan.
Ketiga permasalahan pokok tersebut
menyebabkan backlog perumahan saat ini masih tinggi. Sensus nasional tahun 2010
oleh BPS menunjukkan bahwa terdapat 13,6 juta keluarga Indonesia yang belum
memiliki rumah yang layak huni. Untuk menjawab permasalahan tersebut, sasaran
kebijakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan akan perumahan (
pengurangan backlog); peninghkatan kemampuan MBR dalam mengakses sumberdaya
perumahan; peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh; serta jaminan
kepastian hokum masyarakat dalam bermukim ( secure
tenure). Peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh tersebut
sejalan dengan sasaran pokok pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang
diamanatkan dalam RPJPN yakni kota tanpa perumahan dan permukiman kumuh tahun
2020.
Rumah
susun sebagai solusi:
Rumah susun diyakini dapat menjawab
tantangan dan permasalahan hunian di perkotaan. Hal ini didasari karena
pembangunan rumah susun, paling tidak mempunyai tujuan untuk meningkatkan
efisiensi penggunaan tanah; efisiensi penyediaan PSU; serta sebagai upaya untuk
mencegah tumbuhnya perumahan dan permukiman kumuh perkotaan. Sehingga
pembangunan rumah susun diharapkan mampu mewujudkan peningkatan kualitas hidup
dan produktivitas masyarakat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana amanat UU No 1 Tahun 2011
bahwa pola peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh dapat dilakukan
dengan cara pemugaran, peremajaan, dan pemukiman kembali. Peremajaan sebagai
salah satu tekhnik peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh, dapat
berupa pembangunan hunian secara vertical/rumah susun, baik yang merupakan
rumah susun milik maupun sewa. Penyediaan rumah susun sewa ( Rusunawa) yang
dibangun tidak jauh dari pusat kegiatan masyarakat dan dekat dengan tempat
kerja merupakan salah satu alternative efektif bagi pemecahan dan pemenuhan
kebutuhan tempat tinggal bagi MBR. Dalam konteks pembangunan dan pengembangan
perkotaan, pembangunan Rusunawa yang dibangun dengan intensitas bangunan tinggi
dapat mendorong pemanfaatan lahan dan penyediaan PSU yang lebih efisien dan
efektif, serta sebagai langkah konkrit pencegahan penurunan kualitas hunian
menjadi perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Perumahan dikatakan kumuh apabila
perumahan tersebut mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian,
sedangkan permukiman dikatakan kumuh apabila permukiman tersebut tidak layak
huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi,
dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Rumah
susun bagi peningkatan kualitas Perkotaan.
Pembangunan rumah susun, karena sifatnya yang
dibangun secara vertikal dan dihuni bersama dalam jumlah yang relatif besar di
lokasi yang relatif tidak terlalu luas dibandingkan dengan rumah tapak, dapat
menjadi pilihan baru sebagai salah satu instrument untuk membentuk struktur
tata ruang perkotaan dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan diharapkan dapat
menjadi alternatif dalam mengarahkan pola dan struktur pengembangan kota dan
wilayah sekitarnya dalam suatu pengembangan yang dinamis dan berkelanjutan.
Namun kondisi saat ini, pembangunan rumah susun masih terkendala masalah
pembiayaan serta tantangan sosial dan budaya masyarakat. Perencanaan program
pemerintah 1000 menara rumah susun sederhana, peremajaan perumahan kumuh
perkotaan, dan pelaksanaan lingkungan hunian berimbang masih jauh dari harapan.
Hal ini antara lain dikarenakan belum kuatnya political will dan masih lemahnya
system penyelenggaraan pembangunan rumah susun dan kurangnya dukungan
sumberdaya bagi terwujudnya pembangunan rumah susun, terutama rumah susun sewa
( Rusunawa) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah ( MBR).
Semenjak Perum Perumnas membangun rumah
susun tahun 1974, perkembangan pembangunan rumah susun didominasi oleh
pengembang swasta yang membangun rumah susun komersil berupa
apartement/kondominium mewah yang tidak terjangkau MBR, sedangkan rumah susun
yang diperuntukkan bagi MBR sangat terbatas, yakni berupa rumah susun sederhana
sewa (Rusunawa). Rusunawa ini pun masih didera dengan berbagai permasalahan
mengenai tarif sewa yang tidak dapat mengatasi biaya operasional dan
pemeliharaan, salah sasaran, ketata-laksanaan kepenghunian, dan masalah teknis
lainnya.
Agar rumah susun bisa menjadi instrument
untuk mengarahkan dan mengembangkan kota yang manusiawi dan berwawasan
lingkungan, seperti optimalisasi pemanfaatan lahan dan ruang, ketersediaan
ruang terbuka hijau, penghematan biaya transportasi, dan lain-lain. Kota perlu
diselenggarakan dengan manajemen perkotaan yang komprehensif dan integral
dengan pengembangan kawasan permukiman, sehingga akan tercipta perumahan dan
kawasan permukiman yang nyaman, aman, sehat dan berkelanjutan melalui
penyelenggaraan pembangunan rumah susun. Bukan hanya dilakukan dengan
pembangunan Rumah Susun Komersial belaka, tapi juga Rumah Susun Umum ( Publik),
yaitun rumah susun yang pembangunannya mendapatkan fasilitas kemudahan dan
bantuan pemerintah, baik yang dapat disewa maupun dimiliki oleh masyarakat berpenghasilan
menegah-bawah, dan Rumah Susun Khusus untuk pemenuhan kebutuhan khusus, seperti
rumah susun social, rumah susun singgah (temporer), rumah susun pekerja di
kawasan perbatasan dan rumah susun khusus bagi masyarakat umum lainnya.
Selain sebagai instrument pengembangan
kota, rumah susun diharapkan dapat menjawab tantangan bagi peningkatan kualitas
perumahan kumuh dan permukiman kumuh perkotaan.
Rencana Implementasi
Pertumbuhan
perumahan dan permukiman kumuh diperkotaan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya;
desakan kebutuhan; faktor kekuarangmampuan untuk membangun rumah yang layak,
kurangnya akses masyarakat tentang lokasi peruntukan perumahan maupun informasi
pemahaman masyarakat tentang rumah layak huni yang sesuai dengan aturan.
Sehingga dengan perjalanan waktu dengan pola pembangunan tersebut akan semakin
bertumbuh apa adanya dan secara umum akan mengakibatkan timbulnya zona-zona
permukiman kumuh.
Penataan
kawasan perumahan dan permukiman dalam jangka panjang perlu adanya suatu
perencanaan jangka panjang suatu kawasan terpadu Kawasan Siap Bangun ( Kasiba),
oleh Pemkot dan Pemkab, dalam rangka mengantisipasi tuntutan kebutuhan
perumahan yang tetap bertumbuh baik secara alami maupun pengaruh arus
urbanisasi masyarakat ke pusat-pusat kota, sehingga pembangunan infrastruktur
kota efektif dan efisien juga tepat sasaran, sekaligus hal ini sebagai salah
satu upaya mengendalikan tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh.
Khusus
wilayah kota besar seperti Bandung, daerah kumuh perlu diremajakan dan
dilakukan perbaikan disegala bidang. Hal ini dikarenakan masih banyaknya
permukiman kumuh yang berada di lokasi-lokasi cukup strategis, selain itu juga
perlu dibangun rumah susun yang cukup memadai. Melalui peremajaan kawasan kumuh
dapat menjawab persoalan kota yaitu masalah penanganan permukiman kumuh
perkotaan.
Peran
pemerintah daerah sebagai pemberdaya dalam penanganan permukiman kumuh harus
ditingkatkan. Pada tingkat nasional, Road Map Penyiapan Rencana Aksi Penanganan
Perumahan dan Permukiman Kumuh diharapkan dapat segera disusun dan
diimplementasikan sehingga penanganan permukiman kumuh dapat diupayakan secara
terpadu, terintegrasi, dan menjangkau seluruh wilayah perkotaan di Indonesia.
Ke depannya, berbagai instrument pembiayaan yang responsive terhadap karakteristik
social dan ekonomi masyarakat kawasan kumuh perlu dikembangkan.
DAFTAR PUSTAKA
Albrechts,
Louis, Jeremy Alden, dan Artur Da Rosa Pires (ed) (2001) The Changing Institutional Landscape of Planning. England, Ashgate
Publishing Ltd.
Albrow, Martin.
1989. Birokrasi ( terjemahan Rusli Karim ) Yogyakarta, Grafiti.
Anderson, James
E. 1997. Public Policy Making ( Third
Edition). Boston ; Houghton Mifflin Company.
Angotti,
Thomas.1993.Metropolis 2000, Planning,
Poverty and Politics.New York, Routledge.
Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (2002) Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca
Krisis. Jakarta, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas.
Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, United Nations
Population Fund (2005) Projeksi
Penduduk 2000-2005. Jakarta.
Badan Pusat
Statistik (2001) Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000, Seri
L-2.2, Jakarta, Indonesia
Badan Pusat
Statistik (2004) Statistik Kesejahteraan Rakyat 2004, Survei Sosial
Ekonomi Nasional. Jakarta, Indonesia.
Katalog BPS: 4101.
Bambang T. S.
(2003) Perkembangan Ekonomi Kota-kota Sebelum dan Pasca Krisis (1993-1999) dan
Implikasi Pengembangannya, Working Paper III. 2003. Jakarta, URDI.
Boediono-
Wayan Koster; 2004; Teori Dan Aplikasi STATISTIKA dan PROBABILITAS, PT Remaja
Rosdakarya, Bandung.
Bridge,
G. & W. Sophie (2004) The Blackwell
City Reader. Oxford, Blacwell.
Burgess, E. W.
(1925) The growth of a city: an
introduction to a research project, in Robert E. Park, Ernest W. burgess,
and Rodrick D. McKenzie, The City. Chicago: University of Chicago press. Pp.
47-62.
Cutlip,
Scott M.-allen H. Center- Glen M. Broom; 2006; Effective Public Relations, Prenada Media Group, Jakarta.
Davis,Keith
dan John W Newstrom, 1996, Perilaku dalam Organisasi, edisi ke tujuh, alih
bahasa: Agus Dharma, Erlangga Jakarta.
Directorate General for Education and Culture. European Report
on the Quality of School Education. Europen Commission, 2000
Dye, Thomas R, 1987. Understanding
Public Policy, ( sixth Edition)
London : Englewood Cliff, Prentice Hall.
Edward,
C. George. 1980. Implementing Public
Policy. Washington DC. Conressional Quartely Press.
Englewood
Cliff, NJ: Educational Technology
Publications,1991