KEGIATAN DOSEN

PELAKSANAAN TRI DHARMA PERGURUAN TINGGI- PENGAJARAN-PENELITIAN-PENGABDIAN MASYARAKAT

Minggu, 24 Januari 2016

JURNAL " FOCUS MAGISTER ADMINISTRASI" VOL. 4 NO 3 DESEMBER 2015

Jurnal Ilmiah Focus Magister Administrasi  - Volume 4. Nomor 3. Desember 2015


Jurnal Ilmiah Focus Magister Administrasi Program Pascasarjana Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia Terbit  tiga kali setahun setiap bulan Februari, Juli dan Desember. Jurnal Focus Magister Administrasi  berperan sebagai media informasi dan forum pembahasan masalah –masalah administrasi, diantaranya administrasi pemerintahan; administrasi pendidikan; administrasi bisnis, dan kebijakan publik. Jurnal ini memuat artikel hasil penelitian, gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, serta pembahasan kepustakaan, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia maupun bahasa asing.

PENANGGUNG JAWAB
Rektor UPMI Medan

PIMPINAN UMUM/ WAKIL
Dr. H. Ali Mukti Tanjung, Drs.,SH.,MM

KETUA REDAKTUR
Dr. H. Didin Muhafidin, S.IP.,M.Si

ANGGOTA REDAKTUR
Ahmad Karim, SE.,MM
Drs. El Azhari

SEKRETARIS
Mahyudin Situmeang, S.Sos.,M.Si

BENDAHARA
Drs. Saimun

STAF AHLI / PENYUNTING
Dr. H. Amin Ibrahim, Drs.,MA
Dr. H. Deddy Pandji Santosa, S.Sos.,M.Si
Dr. H. Gunawan Undang, Drs.,M.Si
Dr. Rhiza Zaenudin Ahmad,ST.,M.Si

ALAMAT REDAKSI/ PENERBIT
Kampus I UPMI : Jl. Teladan No. 15 Medan
Telp. (061) 7362927 – (061) 7365650
Fax : (061) 7362927
Website : http//www.upmi.ac.id
http//www.dpsantozs.wix.com/jurnal-ilmiah-upmi
sdrdeddyp@yahoo.co.id





EDITORIAL

 S


uatu keniscayaan bahwa dalam rangka menghadapi suasana dunia yang penuh gejolak di dalam segala bidang garapan masing-masing negara dan bangsa di seluruh belahan dunia ini terutama dalam suasana persaingan global, maka harus segera untuk mempersiapkan segala sesuatunya berupa daya dan upaya serta segala potensi yang dimiliki  untuk meningkatkan kemampuan daya saingnya agar tidak menjadi penonton di negara sendiri.
Sebagaimana diketahui bahwa salah satu persaingan yang akan dihadapi adalah dengan digulirkannya Masyarakat Ekonomi Asean ( MEA) dimana segala hal yang berhubungan dengan perdagangan bebas akan menjadi tantangan tersendiri bagi setiap negara di kawasan Asia Tenggara.
Sehubungan dengan hal tersebut maka setiap negara berlomba-lomba untuk mempersiapkan segala kemampuannya agar tetap unggul di dalam kancah persaingan global tersebut.
Setiap negara dipastikan masing-masing memiliki potensi-potensi unggulan yang dipersiapkan sebagai senjata dalam mempertahankan kedaulatannya terutama kedaulatan di bidang ekonomi. Keunggulan teknologi dan potensi sumber daya alam serta sumber daya manusia menjadi focus utama juga di dalam meningkatkan daya saing masing-masing. Tetapi sesungguhnya dunia modern atau organisasi modern terutama di negara-negara maju paradigma persaingannya sudah bergeser kepada peningkatan Kualitas Pelayanan Publik. Hal ini di tandai dengan pergeseran pelayanan yang dilaksanakan oleh birokrasi, dengan prinsip Reinventing Gouverment. Paradigma sistem pelayanan publiknya dari Paradigma “Birokratik” ke “Post-Bureaucratic paradigm”.
Untuk memahami dan mendalami bagaimana meningkatkan kualitas pelayanan publik, maka ada beberapa dimensi atau factor yang harus dipelajari terlebih dahulu diantaranya adalah:
  1. Konsepsi Pelayanan publik;
  2. Kebijakan pelayanan umum;
  3. Pimpinan pelayanan umum;
  4. Perilaku melayani yang mengacu kepada kepuasan konsumen;
  5.  Pengukuran pelayanan publik yang prima;
  6. Prinsip-prinsip praktek etis dalam pelayanan publik;
  7. Efisiensi penyelenggaraan “Publik Service”

Konsepsi Pelayanan Publik
Pelayanan merupakan tuntutan yg sangat mendasar bagi manajemen pemerintahan modern.
Supriatna ( 1999:37), berpendapat bahwa, masyarakat yg semakin maju membutuhkan pelayanan yg cepat, dihitung dengan nilai ekonomis dan menjamin adanya kepastian.
Moenir (1995:170), mengemukakan bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain secara langsung.
Berdasarkan pendapat tersebut, pelayanan dapat diartikan sebagai serangkaian kegiatan yg membentuk suatu proses. Sebagai proses pelayanan berlangsung secara terus menerus dan berkesinambungan, meliputi seluruh aspek kehidupan orang dalam masyarakat.
Thoha (1991:41), menjelaskan bahwa pelayanan masyarakat merupakan suatu usaha yg dilakukan oleh seseorang/sekelompok orang/institusi tertentu untuk memberikan bantuan kemudahan kepada masyarakat dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu.



Kebijakan Pelayanan umum 
Dalam membahas Kebijakan Pelayanan Umum, terdapat 2 faktor yg sangat mempengaruhi dalam menetapkan suatu kebijakan pelayanan umum yaitu:
1. Ciri-Ciri Pelayanan Publik:
Pelayanan pemerintah yg diselenggarakan sangat tergantung pada jenis pelayanannya.
Jenis-jenis pelayanan yg diselenggarakan oleh pemerintah dapat dilihat dari pemanfaatannya, apakah pelayanan tersebut berorientasi kepada kepentingan individu sepenuhnya atau merupakan kepentingan individu yg mempunyai dampak terhadap masyarakat dan sebaliknya, atau kepentingan masyarakat secara umum.
Dengan melihat perbedaan kepentingan, pengelolaan pelayanan publik dihadapkan pada beberapa pilihan tipe organisasi al:
1) Fully private, 2) Private with part state ownership, 3) Joint private and public ventures, 4) Private regulated, 5) Public infrastructur,operating privately, 6) Contracted out, 7) Public without competition.

2. Unsur-Unsur Pokok dalam Pelayanan Publik.
 a) Strategy atau suatu rencana yg dipergunakan untuk mencapai sasaran tertentu yg telah ditentukan
 b) Structure yaitu untuk mencapai suatu tujuan organisasi diperlukan adanya struktur organisasi yg dapat dijabarkan kedalam tugas-tugas fungsionalnya.
 c) System, yaitu sistem informasi dalam organisasi harus dibuat sedemikian rupa, sehingga hubungan kerja, cepat dan benar, baik sarana maupun prasarana dan disesuaikan dengan kemajuan teknologi, tanpa mengurangi efisiensi dan efektivitas
 d) Staff, disini dikaitkan dalam pemilihan staff untuk mengisi organisasi
 e) Style, yaitu tingkah laku dari manajer atau gaya dalam mencapai sasaran organisasi
 f) Skill, di dalam menjalankan organisasi perlu adanya kecakapan dari anggotanya, perlu adanya peningkatan skill secara terus menerus
 g) Share value/superordinate goals, pada semua S yg lain akan difokuskan dalam superordinate goals

Salah satu cara untuk menyajikan pelayanan prima kepada masyarakat adalah dengan mengimplementasikan sendi-sendi pelayanan seperti yg ditegaskan dalam KEPMENPAN no 81/1993
1. Kesederhanaan: prosedur pelayanan mudah, lancar cepat, tidak berbelit-belit
2. Kejelasan kepastian: prosedur, persyaratan, unit kerja yg bertanggungjawab, rincian biaya, jadwal waktu penyelesaian, hak dan kewajiban
3. Keamanan, dalam arti bahwa proses serta hasil dapat memberikan kepastian hukum
4. Keterbukaan: diinformasikan secara terbuka
5. Efisien, tidak ada pengulangan persyaratan kelengkapan yg sama.
6. Ekonomis: pengenaan biaya ditetapkan dengan wajar.
7. Keadilan yg merata
8.  Ketepatan waktu: pelayanan sesuai waktu yg ditentukan

Pemimpin Pelayanan Umum.
Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur pemerintahan yg terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam pelayanan dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan  pelayanan prima.
Untuk dapat melaksanakan pelayanan prima, unsur aparat seyogyanya mengerti dan memahami apakah kepemimpinan pelayanan itu?, siapakah pemimpin pelayanan?.
Kajian Greenleaf, menempatkan satu model pelayanan kepada orang lain, termasuk karyawan, pelanggan, dan masyarakat sebagai prioritas nomor satu.
Kepemimpinan pelayanan menekankan kepada peningkatan pelayanan kepada orang lain, yg merupakan sebuah pendekatan holistik dalam pekerjaan dan rasa kemasyarakatan.
 Greenleaf menyatakan (pelayan sebagai pemimpin) bahwa pada kepemimpinan-pelayan adalah orang yg mula-mula menjadi pelayan, hakekatnya orang ingin melayani, melayani lebih dahulu, kemudian pilihan sadar membawa orang berkeinginan untuk memimpin.

Melayani Yg Mengacu Pada Kepuasan Konsumen.
Perilaku (sikap) melayani yg dimaksudkan adalah mempertanyakan kepercayaan bahwa kemampuan dapat diandalkan dan pengendalian berjalan bergandengan.
Kepuasan pelanggan sangat dipengaruhi oleh perilaku aparat yg memberikan pelayanan kepada pelanggan. Perilaku aparat biasanya tercermin dalam sebuah senyum.
Senyum disini adalah:
S     : Sigap dan salami dengan tulus, sopan dan pelihara pelanggan
E     : Empatis terhadap perasaan dan masalah pelanggan
N    : Nalar, nyatakan respon positif terhadap masalah pelanggan
Y     : Yakinkan bahwa anda mengerti masalah pelanggan
U    : Upayakan gagasan pelanggan, pelanggan merasa diperhatikan
M   : Mengucapkan terimakasih dan minta maaf yg tulus kepada pelanggan


Pengukuran Pelayanan Publik Yang Prima.
Walaupun mengukur mutu suatu jasa sangatlah rumit, tidak sesederhana mengukur mutu barang, namun tetap harus dilaksanakan, khususnya dalam jasa pelayanan. Untukitu diperlukan komponen-komponen yg dianggap relevan dan menunjukkkan aspek-aspek yg diperlukan dalam pengukuran mutu tersebut.
Aspek-aspek yg diperlukan dalam mengukur mutu pelayanan suatu jasa menurut Gaspersz ( 1997 : 225-261) harus didasarkan pada hal-hal sbb:
1.        Visi organisasi
2.      Menghilangkan hambatan yg ada
3.       Komunikasi
4.      Evaluasi terus menerus
5.       Perbaikan terus menerus
6.      Hubungan pemasok –pelanggan
7.      Pemberdayaan karyawan
8.      Pendidikan dan Pelatihan

Prinsip-Prinsip Praktek Etis Dalam Pelayanan Publik.
Prinsip-prinsip etis dipandang sebagai kewajiban, standar, tugas, dan tanggungjawab. Prinsip ini akan mempermudah pimpinan dan penyelenggara dalam menyelenggarakan pelayanan publik.
1.        Pimpinan dan para penyelenggara pelayanan publik mengutamakan tanggungjawab, melayani kesejahteraan individu atau kelompok.
2.      Pimpinan dan para penyelenggara mendahulukan/mengutamakan tanggungjawab profesi ketimbang kepentingan pribadi
3.       Pimpinan dan para penyelenggara tidak membeda-bedakan latar belakang keturunan, warna kulit, agama, umur, jenis kelamin dll
4.      Melaksanakan tanggungjawab demi mutu dan keluasan pelayanan
5.      Menghargai dan mempermudah/mewujudkan partisipasi
6.      Menghargai keinginan penerima pelayanan atau menentukan nasib sendiri
7.      Menghargai martabat dan harga diri penerima pelayanan

Efisiensi Penyelenggaraan “Public Service”.
Pertanyaan muncul berulang-ulang: “Apakah sektor publik secara inhaeren peka terhadap inefisiensi?. Pandangan tradisional menyatakan bahwa ketiadaan mekanisme yg menyesuaikan diri sendiri yg serupa dengan sistem pasar, menyebabkan bahwa sektor publik menjadi inefisiens.
 Ketidakefisienan diperkuat dengan :
1, Kerangka budgeter yg lunak
2, Karena penilaian kinerja atau performa yg kurang “ketat”
3, Karena system imbalan yg jauh dari memadai
4, Karena penghamburan birokratik.
Herbert Simon (1976:179) menyatakan bahwa “Kriterium Efisiensi mengharuskan adanya pilihan antara alternatif-alternatif, yg menghasilkan hasil terbesar dalam penggunaan sumberdaya dalam jumlah tertentu”.
Semua paradigma di atas menunjukkan bahwa dalam dua dasawarsa terakhir, telah terjadi perubahan orientasi administrasi publik yg sangat cepat. Kegagalan yg dihadapi oleh suatu negara, telah disadari sebagai akibat dari ketidakberesan administrasi publik. Ini menunjukkan bahwa perhatian terhadap pengaruh administrasi publik semakin tinggi. Dapat dikatakan bahwa paradigma NPM orientasinya kepada kepuasan pelanggan, sedangkan NPS orientasinya kepada kualitas pelayanan publik.
Dengan demikian maka bagi negara-negara berkembang maupun yang sedang berkembang jangan kalah oleh negara-negara maju dalam hal peningkatan kualitas pelayanan publiknya, karena modal utama di dalam persaingan global itu adalah bagaimana meningkatkan kualitas pelayanannya yang diberikan kepada publik.
                                                                                                               Redaksi


Kamis, 23 Juli 2015

BUKU JURNAL ILMIAH UPMI MEDAN

JURNAL ILMIAH Vol 1 No 1 Tahun 2012- VOL 4 No 2 - Juli 2015

FOCUS MAGISTER ADMINISTRASI





http//dpsantozs.wix.com/jurnal-ilmiah-upmi

Sabtu, 20 Juni 2015

WEBSITE JURNAL ILMIAH

http://depesantozs2.wix.com/jurnal-piani

http://dpsantozs.wix.com/jurnal-ilmiah-upmi

http://drdeddyps14.wix.com/deddypsantosa

http://drdeddyps14.wix.com/kel-besar-deddyps

http://dpsantozs.wix.com/deddypandjisantosa

Journal- PENANGANAN PERMUKIMAN KUMUH PERKOTAAN

MELALUI PENYEDIAAN PERUMAHAN  BAGI MASYARAKAT BERPENGHASILAN RENDAH(MBR)                                                                                                           
Oleh :
Deddy Pandji Santosa


BANDUNG,   Juni 2015


ABSTRAK

 Kita ketahui bersama, bahwa perumahan dan kawasan pemukiman merupakan hak dasar masyarakat sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28 H ayat (1), bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan.
Dalam Millenium Development Goals ( MDGs), masalah kemiskinan menjadi salah satu tujuan yang hendak dicapai. Atas dasar ini pemerintah menargetkan Indonesia terbebas dari kawasan pemukiman kumuh di perkotaan pada tahun 2020. Namun dengan melihat kenyataan pemukiman kumuh di kota-kota besar Indonesia semakin meningkat 1,37 % menjadi 57.800 Ha dari kondisi sebelumnya, yaitu 54.000 Ha pada akhir tahun 2004 ( UNDP), maka untuk mewujudkan kota bebas kumuh sebagai salah satu tujuan MDGs tersebut diperlukan beberapa alternative solusi yang tepat.
Kata Kunci: Pemukiman Kumuh, Prasarana sarana utilitas, Rumah susun.

PENDAHULUAN
Problematika permukiman kumuh adalah problematika bangsa yang membutuhkan penanganan serius, bahkan penanganan permukiman ( rumah-rumah ) kumuh ini telah mulai dilaksanakan pada masa kolonial dengan nama Program Perbaikan Kampung ( Kampung Verbetering Program), dimasa pemerinatah Orde Baru sampai sekarang program perbaikan permukiman terus dilakukan seperti ; Program MH Thamrin dan WR Supratman, Program Perbaikan Kampung               ( Kampoong Improvement Program/KIP), KIP Komprehenshif, Program Penanganan Lingkungan Permukiman Kumuh(P2LPK), Program Pembangunan Prasarana Kota Terpadu ( P3KT), Program Peningkatan Kualitas Lingkungan (PKL), Penanganan Kumuh Berbasis Kawasan, dll,  dan terus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan hasil evaluasi terhadap program-program yang telah dilaksanakan. Pada Tahun 2000 lalu, agenda penanganan permukiman kumuh telah dicantumkan secara eksplisit dalam Pencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2000-2025, dimana dalam RPJP pemerintah menargetkan segala permasalahan “kumuh” dapat teratasi dengan baik di tahun 2025. Akan tetapi berdasarkan arahan dari Presiden, target tersebut diharapkan dapat lebih cepat terselesaikan pada tahun 2020. Kemudian pertanyaannya, apakah di tahun 2020 wajah perkotaan benar-benar akan bebas dari permukiman kumuh?.
Akar Masalah
Para ahli dan praktisi pembangunan kota melihat bahwa belum berhasilnya pembangunan permukiman di berbagai kota besar di Indonesia lebih banyak dikaitkan dengan persoalan urbanisasi ( penduduk miskin), keterbatasan lahan perkotaan dan kurang tepatnya program-program pembangunan kota. Interaksi ketiganya telah memunculkan kehidupan masyarakat miskin pendatang dengan fasilitas pemenuhan kebutuhan dasar yang tidak layak di perkampungan padat penduduk ( permukiman/perkampungan kumuh). Namun sebenarnya akar masalah pemicu munculnya permukiman kumuh di perkotaan juga berkaitan dengan masalah paradigma proyek dan pemerataan pembangunan ( Prasojo, 2010).
Bahkan akar masalah permukiman kumuh lebih bersifat kompleks yaitu karena adanya:
1. Pembiaran ( neglegiance) berkembangnya ruang-ruang marjinal perkotaan;
2.  Lemahnya pengelolaan kota;
3.   Belum adanya pengenalan terhadap kebutuhan ( housing need assessment) dan persediaan rumah ( housing stock evaluation) secara utuh dan partisipatif; dan
4.  Belum adanya pengembangan system penyediaan perumahan secara utuh        ( housing delivery system) M.J Siregar (2012).

Dengan melihat berbagai faktor penyebab permukiman kumuh tersebut, maka permasalahan tentang bagaimana pemerintah memperlakukan penduduk miskin perkotaan dalam proses pembangunan kota sebenarnya merupakan hal yang paling mendasar untuk didiskusikan. Hal ini karena terkait dengan tanggung jawab utama pemerintah dalam pelaksanaan fungsi mewujudkan kesejahteraan, ketertiban, pelayanan publik, dan lainnya di bidang pembangunan permukiman yang harus mewujudkan kepentingan publik ( masyarakat miskin perkotaan).
1.     Alternatif Kebijakan ( Konsep 1/3).
Konsep untuk mewujudkan tahun 2020 sebagai tahun kota bebas kumuh dengan merealisasikan konsep “Membangun tanpa Menggusur” yang dibangun melalui penerapan “konsep1/3”. Dimana pada saat mengembangkan kawasan kumuh tersebut dialokasikan 1/3 tanah untuk membangun rumah susun sebagai tempat tinggal pemukim semula, 1/3 tanah untuk public space, ( infrastruktur seperti jalan, drainase, ruang terbuka hijau dll), sedangkan 1/3 tanah lagi untuk membangun area komersil oleh developer /swasta dengan tetap melibatkan masyarakat setempat, dimana pemerintah berfungsi sebagai regulator dengan tugas  dan wewenangnya. Namun perlu digarisbawahi bahwa untuk menangani permukiman kumuh ini, dibutuhkan kinerja kolektif. Dan harus mempunyai “satu pintu masuk” dengan kriteria dan persepsi yang sama pula, dengan begitu akan tercipta satu kebijakan, satu regulasi, dan satu persepsi yang sama, sehingga penanganan permukiman kumuh di kota-kota besar di Indonesia, bisa berjalan sesuai dengan harapan.
2.  Alternatif Kebijakan
(Prasarana, Sarana dan Utilitas Perumahan dalam Mendukung Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan).
Pembangunan perumahan dan permukiman jika dilakukan dengan benar akan memberikan kontribusi langsung terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pengentasan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena pembangunan perumahan dapat mendorong pertumbuhan wilayah dan ekonomi daerah, mendukung pembangunan social budaya dan memberikan efek multiplier terhadap sektor lainnya seperti penciptaan lapangan kerja, baik yang langsung maupun yang tidak langsung. Oleh karena itu, pembangunan perumahan dan permukiman harus didukung oleh suatu kebijakan, strategi dan program yang komprehenshif dan terpadu.
Kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah sehubungan dengan usaha untuk mendorong agar pengembang dan masyarakat mampu untuk membeli rumah telah cukup bagus penerapannya, misalnya Fasilitas Likuidasi Pembiayaan Perumahan (FLPP) dengan bunga yang jauh lebih murah dan penyediaan fasilitas Prasarana, Sarana dan Utilitas (PSU) untuk mendukung pembangunan infrastruktur kawasan perumahan bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Keduanya telah memiliki payung hukum yang sah dan telah dilaksanakan dalam mendukung pembangunan perumahan bagi MBR. Untuk membenahi hal ini, pemerintah harus bekerjasama dengan pengembang dalam penyelenggaraan perumahan bagi MBR.
Kerjasama dalam hal penyediaan lahan bagi keperluan pembangunan perumahan MBR memang semakin sulit dilaksanakan oleh PEMDA terkait dengan semakin tingginya harga lahan. Cara lain yang dapat dilaksanakan adalah sinkronisasi penyediaan jaringan infrastruktur pada kawasan-kawasan yang akan dibangun perumahan MBR oleh pengembang. Seringkali pengembang mengembangkan perumahan MBR di kawasan yang relative pinggiran dengan menimbang tingginya harga lahan di pusat perkotaan, sehingga pemerintah harus bersedia memberikan bantuan utamanya jaringan infrastruktur berupa jalan menuju kawasan perumahan, jaringan listrik dan jaringan PDAM. Bantuan pengadaan infrastruktur inilah yang diwujudkan berupa bantuan prasarana, sarana dan Utilitas (PSU).
Di sisi lain, kebijakan pemberian PSU dari Kemenpera yang mematok bahwa yang berhak memperoleh PSU adalah pengembang yang mengembangkan perumahan MBR minimal 300 unit dengan luas lahan 5 Ha, juga menjadi masalah dalam penyelenggaraan perumahan MBR. Karena dalam prakteknya, perumahan MBR atau yang disebut Rumah Sejahtera Tapak ( RST) tidak harus dibangun mengelompok dalam satu kawasan, melainkan dapat dibangun di beberapa titik sesuai dengan kebutuhan. Misalnya, apabila dalam satu kawasan kecamatan membutuhkan RST hanya 50 unit, dipaksa di bangunkan di wilayah luar kecamatan sebanyak 300 unit dengan jarak yang relative jauh, maka perumahan tersebut tidakakan mencapai sasaran.
Berkaca dari kedua masalah yang timbul di atas maka skema pencairan PSU harus diperbaiki. Yang pertama adalah bahwa PSU hendaknya diserahkan kepada pengembang yang membangun RST, bukan pengembang yang menjual RST. Hal ini akan memberikan kepastian pembangunan fasilitas dasar kepada pengembang dan end user. Dalam hal ini pengembang dapat diberikan waktu misalnya 6 bulan untuk memastikan bahwa pengembang benar-benar membangun RST dan menjualnya kepada MBR.
Cara lain yang dapat ditempuh adalah dengan memungkinkan pengembang untuk melakukan reimburse apabila membangun kawasan perumahan untuk MBR dan membangun infrastrukturnya sendiri. Hal ini dikarenakan untuk menarik para pembeli untuk memiliki RST yang telah dilengkati dengan infrastruktur akan lebih mudah dibandingkan apabila kawasan tersebut belum dilengkapi dengan infrastruktur. Dengan catatan PSU yang dibangun sesuai dengan ketentuan dari Kemenpera. Salah satu cara untuk menunjukkan bahwa perumahan tersebut benar-benar telah tepat sasaran adalah dengan menunjukkan berapa jumlah rumah yang dibeli menggunakan fasilitas FLPP sehingga pemberian bantuan PSU juga akan tepat sasaran ( sinkronisasi PSU dengan FLPP). Kemungkinan reimburse ini akan memiliki dampak yang sangat positif di mana pengembang akan lebih laluasa dan percaya diri dalam mengembangkan RST. Di sisi lain tidak akan tercipta permukiman-permukiman kumuh baru akibat ketidak jelasan pembangunan PSU dalam suatu kawasan/lingkungan hunian.
3.     Alternatif Kebijakan
( Semakin Minim Urbanisasi, Semakin Minim Permukiman Kumuh)
Angka urbanisasi dari tahun ke tahun jumlahnya terus meningkat. Meningkatnya jumlah urbanisasi sangat berpotensi meningkatnya volume pemukiman kumuh di perkotaan, apabila kecenderungan urbanisasi ini terus berlangsung, kelak di tahun 2025 sekitar 67,5% penduduk Indonesia akan tinggal di perkotaan (Witoelar, HUDmags:24). Kita semua menyadari bahwa masalah permukiman kumuh di Indonesia khususnya di kota-kota besar tidak mudah untuk diatasi. Beragam upaya dan program dilakukan untuk mengatasinya tetapi masih saja banyak kita jumpai pemukiman kumuh di bagian-bagian kota. Permukiman kumuh ini memiliki kualitas  dan akses ke fasilitas sosial seperti sekolah, kesehatan, ruang bersama dsb yang sangat rendah.
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa, kumuh memang sebuah fenomena yang dipicu oleh urbanisasi dan kepadatan penduduk. Saat ini, hampir separuh penduduk dunia tinggal di perkotaan dengan rata-rata peningkatan penduduk perkotaan dunia sebesar 3,45% per tahun Di Indonesia tidak jauh berbeda, pada tahun 2005 penduduk Indonesia yang tinggal diperkotaan telah mencapai 107 juta atau sebesar 48,1% dari seluruh penduduk Indonesia, sedangkan luas pemukiman kumuh pada tahun 2004 adalah 54.000 ha dan meningkat pada tahun 2009 mencapai 57.800 Ha. Kecenderungan ini diperkirakan akan semakin meningkat apabila tidak dilakukan langkah-langkah pencegahan.
Upaya peningkatan permukiman kumuh merupakan suatu proses dimana permukiman informal ditingkatkan secara bertahap untuk di “formal”kan dan dijadikan sebagai bagian dari kota. Upaya ini dilakukan melalui perluasan jasa pelayanan ekonomi, social, kelembagaan dan komunitas kepada para penghuni permukiman kumuh. Peningkatan Penanganan pemukiman kumuh bukan hanya bicara tentang air bersih, drainase (gorong-gorong) atau perumahan, tetapi lebih banyak memberikan perhatian pada bagaimana menggerakkan kegiatan social-ekonomi, kelembagaan dan komunitas agar kehidupan masyarakat dapat terangkat. Kegiatan ini perlu ditangani secara bersama-sama dengan pihak-pihak yang terkait, baik warga penghuni, kelompok masyarakat, pengusaha dan pemerintah ( tingkat pusat dan daerah). Akses ke pendidikan dan pelayanan kesehatan juga dianggap sebagai bagian dari peningkatan kualitas. Pada dasarnya, masyarakat yang tinggal di pemukiman kumuh itu memiliki potensi yang harus diberdayakan, sehingga mereka menjadi manusia-manusia yang kreatif, mereka harus diperhatikan tanpa diskriminatif. Meskipun cara memberdayakan masyarakat yang hidup di permukiman kumuh memang bukanlah perkara yang mudah. Meski sulit, banyak contoh-contoh kota di Indonesia yang bisa dikatakan sukses menengani pemberdayaan masyarakat permukiman kumuh, diantaranya Palembang, Solo, Surabaya, Tarakan dll.
Penanganan permukiman kumuh ini, sangat tergantung kepada sosok pemimpin kota ( Walikota) tersebut. Jika seorang Walikota peduli untuk menangani permukiman kumuh, maka hal ini tentu akan menjadi prioritas utama dalam mengambil kebijakannya. Seperti menangani kemiskinan, pengangguran, permukiman kumuh dll.
Pada akhirnya permukiman kumuh ini dapat dicegah, dengan meminimalisir jumlah angka urbanisasi. Lantas bagaimana cara meminimalisir urbanisasi? Jawaban dari pertanyaan ini harus dilihat dari apa melatar belakangi maraknya urbanisasi. Witoelar (HUD mags:25) mengatakan: masalahnya sangat sederhana, urbanisasi terjadi karena di desa sangat minim sekali lapangan pekerjaan dan semua orang pergi ke kota karena menginginkan kehidupan yang lebih baik. Mereka (kaum urban) pergi ke kota, karena luasnya lapangan pekerjaan di kota sehingga kota mempunyai “magnet” tersendiri untuk didatangi.
Dengan demikian, salah satu solusi agar angka urbanisasi tidak meningkat adalah membangun pedesaan dengan fasilitas yang layak dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mulai dari pendidikan, akses kesehatan, infrastruktur, lapangan pekerjaan dll. Sehingga dengan begitu desa menjadi kuat secara ekonomi , social dan budaya. Ketika desa kuat secara ekonomi hingga budayanya maka jumlah urbanisasi akan berkurang yang berarti mengurangi jumlah permukiman kumuh di perkotaan.

4.     Alternatif Kebijakan
( Pembangunan Perumahan secara Swadaya)
Membengkaknya jumlah penduduk membuat semakin banyak masyarakat membutuhkan tempat tinggal atau rumah. Kenyataan ini mendorong pemerintah mencari terobosan guna memenuhi kebutuhan perumahan bagi masyarakat, terutama bagi masyarakat berpenghasilan rendah ( MBR). Kementrian Negara Perumahan Rakyat ( Kemenpera), sejak tahun 2006 telah memberikan fasilitas subsidi perumahan untuk pembangunan dan perbaikan rumah, yang pelaksanaannya tidak hanya melibatkan perbankan, tetapi juga lembaga keuangan non bank atau koprasi, kebijakan pemerintah yang membuka peluang bagi lembaga nonbank atau koprasi untuk berpartisipasi langsung sebagai lembaga penerbit kredit dalam program kredit perumahan bersubsidi, khususnya Kredit Pembangunan atau Perbaikan Rumah secara Swadaya (KPRS) Mikro bersubsidi, telah memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Melalui program KPRS Mikro bersubsidi yang melibatkan lembaga keuangan nonbank dan koprasi, pelayanan terhadap kelompok sasaran berhasil diperluas sehingga tidak hanya melayani masyarakat berpenghasilan rendah di sektor formal saja, tetapi juga masyarakat berpenghasilan rendah di sektor informal, yang biasanya tidak memiliki akses kredit, karena berpendapatan tidak pasti, tidak mempunyai slip gaji, bahkan kebanyakan tidak memiliki tanah bersertifikat, sehingga dipandang sebagai non bankable.
Fasilitas subsidi perumahan bertujuan untuk membantu Masyarakat Berpenghasilan rendah ( MBR) atas sebagian biaya membangun atau memperbaiki rumah sederhana sehat ( RSH) yang pokok pembiayaannya disediakan oleh lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non bank atau koprasi. Subsidi diberikan kepada masyarakat berpenghasilan rendah melalui lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan non bank atau koprasi yang telah melakukan MOU dan atau perjanjian kerjasama operasional dengan Kementrian Negara Perumahan Rakyat. Selain itu, dalam upaya membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni yang dilaksanakan secara swadaya, Kemenpera juga memberikan bantuan stimulan berupa pemberian bantuan langsung masyarakat ( BLM) dan bantuan peningkatan kualitas perumahan (PKP). Program BLM lebih ditujukan untuk meringankan masyarakat berpenghasilan rendah dalam pembiayaan pembangunan rumah baru, sedangkkan program PKP walaupun secara prinsip mempunyai kesamaan dengan program BLM, namun lebih ditujukan untuk membantu perbaikan rumah dan penyediaan prasarana, sarana dan utilitas lingkungan perumahan. Bentuk bantuan yang diberikan berupa dana untuk membangun yang penyalurannya dilakukan melalui lembaga keuangan mikro atau lembaga keuangan nonbank atau koprasi setempat. Dana tersebut merupakan hibah dari pemerintah yang apabila disepakati bersama oleh para pihak dapat digulirkan sehingga mungkin membantu masyarakat secara bergilir.                  
5.     Alternatif Kebijakan
( Sinergi Penanganan Kawasan Kumuh dan Penduduk Miskin Perkotaan)
RPJPN 2005-2025 menargetkan pada tahun 2025 kota-kota besar di Indonesia sudah bebas dari kawasan pemukiman kumuh ( cities without slums), bahkan sesuai arahan Presiden target tersebut akan dipercepat menjadi tahun 2020. Untuk mewujudkan hal itu ada dua hal yang harus menjadi concern bidang pemukiman yaitu penanganan kawasan pemukiman kumuh ( slums area) dan penanganan penduduk miskin perkotaan ( squatter-poor people) yang tidak memiliki hunian. Berdasarkan hasil studi dan koordinasi dengan pemerintah daerah, terindikasi sebanyak 1.189 kawasan pemukiman kumuh yang tersebar di kota-kota besar dan menengah yang akan dan sedang ditangani secara terus menerus menuju Indonesia bebas kumuh tahun 2020. Disisi lain kita juga dihadapkan dengan tantangan upaya penanganan penduduk miskin perkotaan, baik yang memiliki hunian di kawasan pemukiman kumuh maupun yang tidak memiliki hunian. Penanganan penduduk miskin ini tentu tidak serta merta terselesaikan dengan pendekatan hunian ( shelter) namun diperlukan upaya lintas sektoral yang dilakukan secara terintegrasi.
Penghuni kawasan permukiman kumuh di sebuah kota tidak selalu merupakan penduduk miskin. Penduduk miskin perkotaan bisa saja menghuni rumah kumuh yang tidak berada dalam kawasan permukiman kumuh. Sedangkan penduduk miskin lainnya yang bekerja di sektor informal, kehidupannya berpindah-pindah menempati ruang-ruang kosong perkotaan yang bisa dipergunakan untuk berteduh, fenomena inilah yang semakin banyak terlihat terutama di kota-kota besar.
Tidak dipungkiri bahwa kawasan permukiman kumuh seringkali identik dengan keberadaan penduduk miskin, persepsi ini tidak selalu benar karena di dalam kawasan permukiman kumuh juga terdapat penduduk yang tidak termasuk katagori miskin. Hal ini ditandai dengan kondisi rumah dan fasilitas yang mereka miliki di kawasan permukiman kumuh tersebut. Ada dua hal yang mencirikan kawasan tersebut dikatakan kumuh yaitu, pertama; kawasan tersebut tidak atau kurang terlayani dengan infrastruktur pendukung kawasan seperti jaringan jalan, drainase, saluran limbah dll, sehingga kawasan tersebut cenderung mengalami degradasi. Kedua; hunian di kawasan tersebut secara kasat mata terlihat tidak layak huni yang ditandai dengan kurangnya ventilasi maupun pencahayaan, disamping mutu material bangunannya yang tidak layak dijadikan sebagai bahan bangunan untuk sebuah hunian.
Pola penanganan sejalan denan amanat UU No 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, pada pasal 13 disebutkan bahwa Pemerintah disamping mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi bidang perumahan dan kawasan permukiman, juga memfasilitasi pelaksanaan kebijakan dan strategi pada tingkat nasional. Penanganan kawasan permukiman kumuh dilakukan melalui penyiapan infrastruktur permukiman dengan pendekatan pengembangan berbasis masyarakat ( community based development). Kebutuhan infrastruktur pendukung yang diperlukan di sebuah kawasan diidentifikasi bersama warga dengan pola pendampingan, dan pendekatan ini dianggap efektif karena selain mengarahkan program penanganan sekaligus menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap lingkungan. Penanganan berbasis masyarakat ini harus dilakukan bersamaan dengan penanganan sektor lainnya. Untuk itu diperlukan sebuah wadah koordinasi dalam tataran implementasi ditingkat masyarakat. Upaya penguatan Badan Keswadayaan Masyarakat (BKM) sebagai wadah koordinasi di tingkat masyarakat adalah wadah yang harus diperkuat dengan pendekatan pendampingan masyarakat juga ( community empowering). Untuk kawasan kumuh yang sudah sangat sulit ditingkatkan kualitasnya, baik karena alas an kepadatan atau keselamatan lingkungan dan warga, maka diperlukan upaya untuk merumahkan penduduk ke tempat hunian yang lebih layak. Upaya merumahkan penduduk di kawasan permukiman kumuh saat ini dilakukan dengan memberikan kesempatan pindah ke rumah susun sewa ( RUSUNAWA) bagi yang berminat. Upaya merumahkan inipun perlu dilakukan dengan pendampingan terhadap masyarakat karena terkait dengan pola hidup dan konsekuensi biaya. Sedangkan untuk mewujudkan lingkungan yang lebih layak, dilakukan dengan penyediaan infrastruktur pendukung pada kawasan tersebut, sehingga akses masyarakat terhadap infrastruktur menjadi lebih mudah.
Upaya peningkatan kualitas lingkungan dan merumahkan penduduk di kawasan permukiman kumuh harus dilakukan sejalan dengan upaya penanggulangan kemiskinan perkotaan untuk menghindari meluasnya kawasan permukiman kumuh perkotaan. Penanganan penduduk miskin perkotaan yang tidak memiliki rumah dan juga tidak mampu menyewa, dilakukan dengan upaya untuk merumahkan mereka dengan pola bermukim sementara ( temporary shelter) sampai mereka berdaya dan mampu menyewa atau mencicil rumah. Pendampingan masyarakat juga sangat menentukan keberhasilan program hunian sementara atau hunian singgah ini.
Konsep rumah singgah yang digagas adalah konsep”pondok boro” dimana penduduk miskin perkotaan yang merupakan pekerja musiman maupun para gelandangan yang belum memiliki identitas, diidentifikasi dan diberi tanda pengenal kemudian ditempatkan dalam sebuah hunian sementara. Hunian sementara ini seperti halnya barak yang dilengkapi tempat tidur dan lemari, serta kamar mandi. Selain mendapat tempat hunian, penduduk miskin perkotaan yang tinggal di “pondok boro” ini, dengan tanda pengenal yang dimilikinya, juga akan memiliki akses terhadap berbagai pelayanan public untuk penduduk miskin pada umumnya seperti kesehatan, pendidikan, dan program penanggulangan kemiskinan lainnya.
Sinergi penanganan kawasan permukiman kumuh dan penduduk miskin ini diharapkan menjadi trigger dalam mewujudkan kota bebas kumuh sekaligus juga meningkatkan martabat penduduk miskin perkotaan.
6.     Alternatif Kebijakan ( Terpilih)
( Pembangunan Rumah Susun Sebagai Upaya Peningkatan Kualitas Perumahan dan Permukiman Perkotaan).
Perkotaan dengan kompleksitas permasalahan yang ada di tambah laju urbanisasi yang tinggi membuat kebutuhan akan di perkotaan semakin meningkat, sementara itu ketersediaan lahan menjadi semakin langka dan mahal. Laju pertambahan jumlah penduduk dan arus urbanisasi yang tinggi mengakibatkan terjadinya tekanan pertumbuhan kota. Tekanan pertumbuhan kota tersebut dapat berdampak pada perkembangan perkotaan yang cenderung tanpa kendali ke wilayah pinggiran perkotaan, serta terjadinya perubahan tata guna lahan, demografi dan keseimbangan ekologi, menurunnya efisiensi pelayanan prasarana, sarana dan utilitas, meningkatnya biaya transportasi dan waktu tempuh, penurunan tingkat produktivitas masyarakat perkotaan. Salah satu jawaban atas permasalahan dan tantangan perumahan dan kawasan permukiman di perkotaan yaitu untuk mendekatkan kembali masyarakat berpenghasilan menengah kebawah ke pusat aktivitas kesehariannya dengan mengedepankan efisiensi lahan/tanah di perkotaan dan menata kawasan permukiman kumuh di perkotaan  adalah dengan pembangunan hunian secara vertikal berupa Rumah Susun ( Rusun).
Terdapat 3 (tiga) permasalahan pokok dalam penanganan perumahan dan permukiman perkotaan saat ini yaitu :
1.      Keterbatasan lahan, khususnya lahan perumahan bagi MBR.
2.      Meningkatnya luasan perumahan dan permukiman kumuh, karena ketidak mampuan manajemen kota dalam menyediakan perumahan yang bagi MBR serta didukung PSU yang memadai.
3.      Kemampuan MBR dalam mengakses sumberdaya perumahan.
Ketiga permasalahan pokok tersebut menyebabkan backlog perumahan saat ini masih tinggi. Sensus nasional tahun 2010 oleh BPS menunjukkan bahwa terdapat 13,6 juta keluarga Indonesia yang belum memiliki rumah yang layak huni. Untuk menjawab permasalahan tersebut, sasaran kebijakan pembangunan perumahan dan kawasan permukiman diarahkan pada pemenuhan kebutuhan akan perumahan            ( pengurangan backlog); peninghkatan kemampuan MBR dalam mengakses sumberdaya perumahan; peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh; serta jaminan kepastian hokum masyarakat dalam bermukim ( secure tenure). Peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh tersebut sejalan dengan sasaran pokok pembangunan perumahan dan kawasan permukiman yang diamanatkan dalam RPJPN yakni kota tanpa perumahan dan permukiman kumuh tahun 2020.
Rumah susun sebagai solusi:
Rumah susun diyakini dapat menjawab tantangan dan permasalahan hunian di perkotaan. Hal ini didasari karena pembangunan rumah susun, paling tidak mempunyai tujuan untuk meningkatkan efisiensi penggunaan tanah; efisiensi penyediaan PSU; serta sebagai upaya untuk mencegah tumbuhnya perumahan dan permukiman kumuh perkotaan. Sehingga pembangunan rumah susun diharapkan mampu mewujudkan peningkatan kualitas hidup dan produktivitas masyarakat, yang pada akhirnya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sebagaimana amanat UU No 1 Tahun 2011 bahwa pola peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh dapat dilakukan dengan cara pemugaran, peremajaan, dan pemukiman kembali. Peremajaan sebagai salah satu tekhnik peningkatan kualitas perumahan dan permukiman kumuh, dapat berupa pembangunan hunian secara vertical/rumah susun, baik yang merupakan rumah susun milik maupun sewa. Penyediaan rumah susun sewa ( Rusunawa) yang dibangun tidak jauh dari pusat kegiatan masyarakat dan dekat dengan tempat kerja merupakan salah satu alternative efektif bagi pemecahan dan pemenuhan kebutuhan tempat tinggal bagi MBR. Dalam konteks pembangunan dan pengembangan perkotaan, pembangunan Rusunawa yang dibangun dengan intensitas bangunan tinggi dapat mendorong pemanfaatan lahan dan penyediaan PSU yang lebih efisien dan efektif, serta sebagai langkah konkrit pencegahan penurunan kualitas hunian menjadi perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Perumahan dikatakan kumuh apabila perumahan tersebut mengalami penurunan kualitas fungsi sebagai tempat hunian, sedangkan permukiman dikatakan kumuh apabila permukiman tersebut tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Rumah susun bagi peningkatan kualitas Perkotaan.
 Pembangunan rumah susun, karena sifatnya yang dibangun secara vertikal dan dihuni bersama dalam jumlah yang relatif besar di lokasi yang relatif tidak terlalu luas dibandingkan dengan rumah tapak, dapat menjadi pilihan baru sebagai salah satu instrument untuk membentuk struktur tata ruang perkotaan dengan tingkat kepadatan yang tinggi dan diharapkan dapat menjadi alternatif dalam mengarahkan pola dan struktur pengembangan kota dan wilayah sekitarnya dalam suatu pengembangan yang dinamis dan berkelanjutan. Namun kondisi saat ini, pembangunan rumah susun masih terkendala masalah pembiayaan serta tantangan sosial dan budaya masyarakat. Perencanaan program pemerintah 1000 menara rumah susun sederhana, peremajaan perumahan kumuh perkotaan, dan pelaksanaan lingkungan hunian berimbang masih jauh dari harapan. Hal ini antara lain dikarenakan belum kuatnya political will dan masih lemahnya system penyelenggaraan pembangunan rumah susun dan kurangnya dukungan sumberdaya bagi terwujudnya pembangunan rumah susun, terutama rumah susun sewa ( Rusunawa) bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah ( MBR).
Semenjak Perum Perumnas membangun rumah susun tahun 1974, perkembangan pembangunan rumah susun didominasi oleh pengembang swasta yang membangun rumah susun komersil berupa apartement/kondominium mewah yang tidak terjangkau MBR, sedangkan rumah susun yang diperuntukkan bagi MBR sangat terbatas, yakni berupa rumah susun sederhana sewa (Rusunawa). Rusunawa ini pun masih didera dengan berbagai permasalahan mengenai tarif sewa yang tidak dapat mengatasi biaya operasional dan pemeliharaan, salah sasaran, ketata-laksanaan kepenghunian, dan masalah teknis lainnya.
Agar rumah susun bisa menjadi instrument untuk mengarahkan dan mengembangkan kota yang manusiawi dan berwawasan lingkungan, seperti optimalisasi pemanfaatan lahan dan ruang, ketersediaan ruang terbuka hijau, penghematan biaya transportasi, dan lain-lain. Kota perlu diselenggarakan dengan manajemen perkotaan yang komprehensif dan integral dengan pengembangan kawasan permukiman, sehingga akan tercipta perumahan dan kawasan permukiman yang nyaman, aman, sehat dan berkelanjutan melalui penyelenggaraan pembangunan rumah susun. Bukan hanya dilakukan dengan pembangunan Rumah Susun Komersial belaka, tapi juga Rumah Susun Umum ( Publik), yaitun rumah susun yang pembangunannya mendapatkan fasilitas kemudahan dan bantuan pemerintah, baik yang dapat disewa maupun dimiliki oleh masyarakat berpenghasilan menegah-bawah, dan Rumah Susun Khusus untuk pemenuhan kebutuhan khusus, seperti rumah susun social, rumah susun singgah (temporer), rumah susun pekerja di kawasan perbatasan dan rumah susun khusus bagi masyarakat umum lainnya.
Selain sebagai instrument pengembangan kota, rumah susun diharapkan dapat menjawab tantangan bagi peningkatan kualitas perumahan kumuh dan permukiman kumuh perkotaan.
Rencana Implementasi
Pertumbuhan perumahan dan permukiman kumuh diperkotaan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya; desakan kebutuhan; faktor kekuarangmampuan untuk membangun rumah yang layak, kurangnya akses masyarakat tentang lokasi peruntukan perumahan maupun informasi pemahaman masyarakat tentang rumah layak huni yang sesuai dengan aturan. Sehingga dengan perjalanan waktu dengan pola pembangunan tersebut akan semakin bertumbuh apa adanya dan secara umum akan mengakibatkan timbulnya zona-zona permukiman kumuh.
Penataan kawasan perumahan dan permukiman dalam jangka panjang perlu adanya suatu perencanaan jangka panjang suatu kawasan terpadu Kawasan Siap Bangun ( Kasiba), oleh Pemkot dan Pemkab, dalam rangka mengantisipasi tuntutan kebutuhan perumahan yang tetap bertumbuh baik secara alami maupun pengaruh arus urbanisasi masyarakat ke pusat-pusat kota, sehingga pembangunan infrastruktur kota efektif dan efisien juga tepat sasaran, sekaligus hal ini sebagai salah satu upaya mengendalikan tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh.
Khusus wilayah kota besar seperti Bandung, daerah kumuh perlu diremajakan dan dilakukan perbaikan disegala bidang. Hal ini dikarenakan masih banyaknya permukiman kumuh yang berada di lokasi-lokasi cukup strategis, selain itu juga perlu dibangun rumah susun yang cukup memadai. Melalui peremajaan kawasan kumuh dapat menjawab persoalan kota yaitu masalah penanganan permukiman kumuh perkotaan.
Peran pemerintah daerah sebagai pemberdaya dalam penanganan permukiman kumuh harus ditingkatkan. Pada tingkat nasional, Road Map Penyiapan Rencana Aksi Penanganan Perumahan dan Permukiman Kumuh diharapkan dapat segera disusun dan diimplementasikan sehingga penanganan permukiman kumuh dapat diupayakan secara terpadu, terintegrasi, dan menjangkau seluruh wilayah perkotaan di Indonesia. Ke depannya, berbagai instrument pembiayaan yang responsive terhadap karakteristik social dan ekonomi masyarakat kawasan kumuh perlu dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA

Albrechts, Louis, Jeremy Alden, dan Artur Da Rosa Pires (ed) (2001) The Changing Institutional Landscape of Planning. England, Ashgate Publishing Ltd.
Albrow, Martin. 1989. Birokrasi ( terjemahan Rusli Karim ) Yogyakarta, Grafiti.
Anderson, James E. 1997. Public Policy Making ( Third Edition). Boston ; Houghton Mifflin Company.
Angotti, Thomas.1993.Metropolis 2000, Planning, Poverty and Politics.New York, Routledge.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2002) Infrastruktur Indonesia Sebelum, Selama dan Pasca Krisis. Jakarta, Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Bappenas.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Badan Pusat Statistik, United Nations
          Population Fund (2005) Projeksi Penduduk 2000-2005. Jakarta.

Badan Pusat Statistik (2001) Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk Tahun 2000, Seri L-2.2, Jakarta, Indonesia
Badan Pusat Statistik (2004) Statistik Kesejahteraan Rakyat 2004, Survei Sosial
          Ekonomi Nasional. Jakarta, Indonesia. Katalog BPS: 4101.
Bambang T. S. (2003) Perkembangan Ekonomi Kota-kota Sebelum dan Pasca Krisis (1993-1999) dan Implikasi Pengembangannya, Working Paper III. 2003. Jakarta, URDI.
Boediono- Wayan Koster; 2004; Teori Dan Aplikasi STATISTIKA dan PROBABILITAS, PT Remaja Rosdakarya, Bandung.
Bridge, G. & W. Sophie (2004) The Blackwell City Reader. Oxford, Blacwell.
Burgess, E. W. (1925) The growth of a city: an introduction to a research project, in Robert E. Park, Ernest W. burgess, and Rodrick D. McKenzie, The City. Chicago: University of Chicago press. Pp. 47-62.
Cutlip, Scott M.-allen H. Center- Glen M. Broom; 2006; Effective Public Relations, Prenada Media Group, Jakarta.

Davis,Keith dan John W Newstrom, 1996, Perilaku dalam Organisasi, edisi ke tujuh, alih bahasa: Agus Dharma, Erlangga Jakarta.
Directorate General for Education and Culture. European Report on the Quality of School Education. Europen Commission, 2000
Dye, Thomas R, 1987. Understanding Public Policy, ( sixth  Edition) London : Englewood Cliff, Prentice Hall.
Edward, C. George. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC. Conressional Quartely Press.
Englewood Cliff, NJ: Educational Technology Publications,1991